Kala Kebijakan E-Toll Dipersoalkan Lewat Uji UU Perlindungan Konsumen
Utama

Kala Kebijakan E-Toll Dipersoalkan Lewat Uji UU Perlindungan Konsumen

Majelis Panel mempertanyakan kerugian konstitusional pemohon. Pemohon justru mengklaim kerugian konstitusional sudah jelas.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Dia mengakui adanya kemajuan dan perkembangan teknologi memang memudahkan masyarakat dalam melakukan transaksi di bidang ekonomi. Namun, seharusnya kebijakan ini tanpa meniadakan hak konsumen untuk memilih model transaksi yang digunakan. Karena itu, Eep meminta agar Pasal 4 huruf b UU Perlindungan Konsumen dinyatakan inkonstitusional bersyarat.

 

“Sepanjang tidak dimaknai meniadakan hak konsumen untuk memilih cara melakukan pembayaraan atau barang dan/atau jasa yang hendak dimiliki dan/atau digunakan,” pintanya.

 

Menanggapi permohonan, Maria Farida mempertanyakan bukankah penggunaan e-money ini memudahkan transaksi? “Kalau menggunakan e-money pembayarannya dengan total nominal sekian, dibayar sekian, tidak seperti menggunakan uang cash yang kembaliannya kadang dibayar permen. Itu bagaimana, apakah benar ada kerugian hak konstitusional disitu,” ujar Maria.

 

Anggota Panel Manahan Sitompul menilai sistematika permohonan sudah baik. Hanya saja, dari segi substansi masih belum jelas kerugian konstitusionalnya. “Bukankah konsumen diberi kesempatan tidak harus menggunakan jalan tol, tetapi bisa menggunakan jalan umum biasa. Apakah (juga) di jalan tol tidak diberi kesempatan membayar uang cash? Coba pemohon pikir ulang kembali, apakah ini melanggar konstitusional. Bukankah kebijakan ini untuk kepentingan bersama?” ujar Manahan mempertanyakan.

 

Usai sidang, Eep Ependi mengatakan akan memperbaiki alasan permohonan ini terutama menyangkut kerugian konstitusional. Dia menegaskan pemohon telah kehilangan hak konstitusionalnya karena tidak ada pilihan lain selain dengan E-Toll (E-Money). “Jelas terlihat, pelaku usaha secara sepihak menentukan cara pembayaran tol dengan uang elektronik,” kata dia.

 

Padahal, dalam UU Mata Uang sendiri disebutkan, rupiah itu adalah alat pembayaran yang sah. Sehingga, setiap orang tidak boleh menolak uang kertas dan uang logam saat transaksi pembayaran. “Bukankah siapapun tidak boleh menolak pembayaran uang rupiah? Tetapi mengapa pelaku usaha disini, menentukan sistem pembayaran E-Toll (E-Money) secara sepihak? Seharusnya minimalnya konsumen boleh memilih pembayaran dengan uang cash (uang rupiah kertas atau logam).”

 

Bisa dibayangkan, misalkan ada konsumen dari kampung datang ke kota dan mereka hendak bepergian ke suatu tempat dengan melalui jalan tol. Lalu, dipaksa untuk membeli kartu E-Toll. “Dimana yang seharusnya harga tol hanya delapan ribu, tetapi ini harus beli dahulu membeli kartu (E-Toll) dengan harga diatas standar tol. Saya rasa kerugian konstitusional pemohon sudah jelas,” tegasnya.  

Tags:

Berita Terkait