Kebijakan PSBB Harus Mendapat ‘Restu’ Pemerintah Pusat
Berita

Kebijakan PSBB Harus Mendapat ‘Restu’ Pemerintah Pusat

PP 21/2020 dan Keppres 11/2020 untuk menjaga keselarasan penanganan baik oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah guna agar pencegahan dan penanggulangan wabah Covid-19 lebih efektif.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: Hol
Ilustrasi: Hol

Presiden Joko Widodo resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PP PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Corona Virus Disease (Covid-19) pada 31 Maret 2020. Saat bersamaan, Presiden menerbitkan Keppres No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19.

 

Penerbitan dua beleid itu didasarkan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang menyebut PSBB bagian respon kedaruratan kesehatan masyarakat. Keppres itu menetapkan Covid-19 sebagai jenis penyakit yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat yang penanggulangannya wajib dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.   

 

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo menilai kebijakan Presiden Jokowi menerbitkan PP PSBB dan Keppres No.11 Tahun 2020 itu sudah tepat. Menurutnya, dua kebijakan itu momentum menjaga keselarasan penanganan wabah Covid-19 baik oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah guna mencegah penyebaran Covid-I9.

 

“Ini agar pemerintah daerah tidak membuat kebijakannya sendiri-sendiri yang tidak sejalan kebijakan pemerintah pusat,” ujar Bambang Soesatyo melalui keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (1/4/2020). Baca Juga: Beredar Versi PP 21/2020, Ini Kata Kemensetneg

 

Bambang menegaskan dengan terbitnya kebijakan itu setiap penanggulangan Covid-19 melalui PSBB, pemerintah daerah harus mendapat  persetujuan pemerintah pusat. Hal ini sesuai Pasal 2 PP PSBB yang menyebutkan pemerintah daerah dapat melakukan PSBB atau pembatasan kegiatan/pergerakan orang/barang dalam satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu dengan persetujuan Menteri Kesehatan.   

 

Selanjutnya, Pasal 5 ayat (1) PP 21/2020 menyebutkan, “Dalam hal Pembatasan Sosial Berskala Besar telah ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, Pemerintah Daerah wajib melaksanakan dan memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.”

 

Pasal 5 PP 21/2020 itu amanat Pasal 49 ayat (3) UU Kekarantinaan Kesehatan yang menyebutkan, “Karantina Wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri”.

 

Sesuai PP 21/2020 itu, PSBB harus memenuhi kriteria yakni jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah; terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain. PSBB meliputi: peliburan sekolah dan tempat kerja; pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

 

“Karena itu, pemerintah daerah tak berwenang menetapkan kebijakan karantina wilayah atau PSBB sendiri. Pemerintah daerah harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan pemeritah pusat agar ada keseragaman kebijakan penanggulangan Covid-19,” lanjutnya.

 

“Terbitnya PP PSBB dan Keppres Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, pemerintah daerah tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan peraturan yang dibuat pemerintah pusat.”

 

Mantan Ketua DPR periode 2014-2019 itu menambahkan pelaksanaan PP 21/2020 perlu bantuan Polri agar kebijakan ini dapat berjalan dengan penuh kesadaran masyarakat yang tinggi. Dia berharap melalui kebijakan penanggulangan Covid-19 ini dapat mengeliminasi penyebaran virus corona yang terus menyebar ke berbagai wilayah.

 

Perlu PP Karantina Wilayah

Terpisah, Koordinator Public Interest Lawyer Network (Pilnet) Indonesia Erwin Natosmal Oemar menyoroti terbitnya PP 21/2020 ini. Seperti, penetapan status darurat kesehatan ini secara tidak langsung membatalkan atau merevisi status darurat sipil yang diutarakan Presiden Joko Widodo sebelumnya.

 

Erwin menilai PP 21/2020 sebagai pelaksana UU 6/2018 itu belum cukup memadai. Sebab, pemerintah harus menerbitkan satu PP lagi tentang PP Karantina Wilayah sebagaimana amanat UU Kekarantinaan Kesehatan. Tak kalah penting, soal penegakan hukum terhadap potensi dan bahaya penyebaran Covid-19.

 

Karena itu, Menteri Kesehatan dan Jaksa Agung seharusnya memiliki standar operasional prosedur (SOP) yang sama, khususnya penegakan hukum/aturan disertai ancaman pidana sebagaimana disebutkan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai upaya kuratif terhadap pihak-pihak yang berpotensi dan membahayakan kesehatan masyarakat.

 

Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan, “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

 

Paling rasional

Deputi IV Kantor Staf Presiden Juri Ardiantoro mengatakan alasan Presiden Joko Widodo menempuh kebijakan PSBB paling rasional dalam penanganan Covid-19 dibanding sejumlah usulan sejumlah pihak. Selain itu, terdapat pertimbangan pengamatan terhadap warga negara dan karakteristik bangsa yang terdiri dari sejumlah pulau serta jumlah penduduk dan pemenuhan kebutuhan masyarakat.

 

Dia mengakui sebelum terbitnya PP 21/2020, kebijakan PSBB telah berjalan. Namun Presiden melalui PP ini menginginkan pelaksanaan PSBB dapat berjalan lebih efektif. Dengan begitu, PP 21/2020 menjadi payung hukum bagi pemerintah dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengambil kebijakan pembatasan arus barang, orang, serta kegiatan lain.

 

Menurutnya, pemerintah daerah dapat menerapkan kebijakan tersebut sepanjang usulan ini disetujui Menteri Kesehatan. Nantinya, jika pemerintah daerah mengusulkan PSBB bakal dikaji terlebih dahulu. Setelah Menteri Kesehatan menyetujui (karena memenuhi kriteria/syarat, red), pemerintah dapat menetapkan kebijakan PSBB pada satu daerah tertentu. 

 

“Dengan PP ini, tidak semua daerah dapat menerapkan pembatasan sosial berskala besar karena harus melalui pertimbangan banyak hal,” katanya.

Tags:

Berita Terkait