Dia melanjutkan pekerjaan besar membuat omnibus law adalah melakukan pemetaan, penyederhanaan, penyatuan, dan penghapusan pasal-pasal dari sejumlah UU. Belum lagi, bila omnibus law “gagal” diterapkan atau berlakunya tidak efektif dan ada isu terlewat yang dapat menyisakan pekerjaan baru.
“Apalagi, hingga kini pemerintah belum menyiapkan secara menyeluruh naskah akademik dan draf RUU-nya. Kuncinya tetap ada di pemerintah,” katanya.
Menanggapi pandangan anggota Baleg, Maria memahami keinginan pemerintah agar ada kemudahan masuknya investasi melalui perizinan yang ujungnya bermanfaat bagi masyarakat. Namun sayangnya, sebagai negara hukum terikat dengan sistem peraturan perundang-undangan. “Maka saya katakan, RUU ini seperti apa?” kembali mempertanyakan.
Dia menegaskan berdasarkan naskah akademik yang terbaru yang diterimanya terdapat beberapa cluster. Dalam cluster itu terdapat pasal-pasal dari berbagai UU bakal dicabut. Ironisnya, pasal-pasal yang bakal dicabut terdapat 700 halaman. “Kalau ini dibuat, nantinya seperti apa? Seharusnya membuat UU tidak menimbulkan masalah di kemudian hari, itu yang saya khawatirkan,” lanjutnya.
Ditegaskan Maria menyisir 74 UU bukanlah perkara mudah. Apalagi pengaturan satu UU dengan UU lainnya berbeda materi dan kewenangannya. “Jadi sebagai orang yang sering berkecimpung di dunia peraturan perundang-undangan, ini bagaimana? Saya khawatir ini malah tidak sinkron antara pemerintah dan DPR,” tambahnya.