Kemajuan E-Commerce Belum Ramah Terhadap Konsumen Difabel
Terbaru

Kemajuan E-Commerce Belum Ramah Terhadap Konsumen Difabel

Padahal konsumen difabel berpotensi menjadi konsumen aktif dengan jumlah transaksi yang besar di sektor e-commerce.

CR-27
Bacaan 3 Menit

Dari hasil survei ditemukan sebagian besar konsumen difabel yang mengalami kendala yaitu tombol navigasi yang diberikan oleh e-commerce yang tidak terbaca oleh pembaca layar. Masih rendahnya akan hak-hak konsumen menyebabkan banyaknya pelanggaran-pelanggaran hak konsumen disabilitas, termasuk pelanggaran ketika mengakses layanan transaksi e-commerce.

“Hasil survei ini juga menyatakan kesadaran konsumen yang dimiliki penyandang disabilitas cenderung menyalahkan diri sendiri ketika mendapatkan masalah dalam akses layanan e-commerce. Hal-hal ini yang harus menjadi perhatian bahwa untuk mendapatkan barang dan jasa yang berkualitas serta pelayanan yang terpadu merupakan hak konsumen difabel,” tambahnya.

Kenyamanan dalam melakukan transaksi jual-beli ini telah diatur dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Menurut Joni, regulasi yang telah ada ini ternyata belum secara rinci mengatur secara spesifik perlindungan konsumen difabel dalam konteks aksesibilitas yang layak bagi konsumen difabel.  

Dari temuan dan survey tersebut, SIGAB berkesimpulan perlu tindak lanjut bersama terkait edukasi bagi konsumen difabel. perlunya kebijakan untuk memastikan aksesibilitas sebagai pertimbangan penting dalam pengembangan e-commerce serta perlunya sosialisasi dan kepedulian yang perlu dikembangkan kepada platform e-commerce.

Sementara Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat pengaduan konsumen selama lima tahun terakhir terkait pengaduan terhadap layanan e-commerce. Hal ini membuktikan konsumen difabel memiliki kesadaran yang cukup tinggi mengenai haknya sebagai konsumen rentan.

Menurut ketua YLKI, Tulus Abadi, sebagian besar konsumen di era ekonomi digital begitu cermat memahami pengetahuan tentang produk dan produsen. Padahal hal tersebut sangat berpengaruh pada kerentanan konsumen secara umum dan tak jarang melayangkan aduan. Pada 2020, YLKI mencatat ada 11, 7% pengaduan di sektor e-Commerce, dengan jenis aduan barang pesanan tidak diterima 28,2% dan barang pesanan tidak sesuai 15,3%.

“Dari sisi kebijakan, juga masih belum kuat, adapun UU PK yang tahun 1999 itu sudah sangat jadul dan belum memikirkan ekonomi digital,” katanya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait