Kenali MAC Clause dan Doctrine of Frustration, Klausul Pemaaf dalam Kontrak Internasional
Berita

Kenali MAC Clause dan Doctrine of Frustration, Klausul Pemaaf dalam Kontrak Internasional

MAC clause dan doctrine of frustration sama-sama berfungsi untuk menterminasi/mengakhiri kontrak.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi klausula pemaaf. Ilustrator: HGW
Ilustrasi klausula pemaaf. Ilustrator: HGW

Situasi Covid-19 yang berdampak pada terhambatnya operasi rantai pasokan barang, produksi manufaktur, pembatalan M&A deal hingga menurunnya penjualan akibat adanya pembatasan perjalanan (travel restriction)di hampir seluruh lini usaha telah mendorong perusahaan untuk mengevaluasi kembali kontrak-kontrak yang telah disepakati. Ragam doktrin pemaaf seperti force majeur, hardship/rebus sic stantibus, doctrine of frustration (common law) dan material adverse change (MAC) kini banyak dikaji di sejumlah negara. Di Indonesia, saat ini force majeur banyak mendapat perhatian.

Dalam suatu kontrak internasional yang melibatkan banyak yurisdiksi, tentu tak jarang ditemui penggunaan suatu doktrin-doktrin yang berasal dari negara-negara Common Law oleh para pihak atau perusahaan yang berdomisili di negara-negara Civil Law. Wajar saja, pilihan hukum yang ditentukan dalam kontrak (choice of law) sebagai representasi kebebasan berkontrak menjadi salah satu tolak ukur utama sistem hukum apa yang digunakan kendati berbeda dengan sistem hukum di negara asal para pihak.

(Baca juga: Kompetitif, Beragam Area Praktik Corporate Law Firm Menengah Indonesia 2020).

Namun tulisan ini akan membatasi pembahasan hanya pada dua jenis konsep pemaafan dalam kontrak-kontrak internasional, yakni doctrine of frustration dan material adverse change/material adverse effect.

Doctrine of Frustration

Doktrin ini dikenal di negara-negara dengan sistem hukum Common Law. doctrine of frustration (DoF) tidak berarti membatalkan perjanjian, melainkan terminasi atau mengakhiri suatu kontrak terhitung sejak tanggal terjadinya suatu peristiwa yang tak diperkirakan sebelumnya, frustrating event. Untuk itu, Regional Head Dispute Resolution Rajah &Tann Singapore LLP, Francis Xavier menjelaskan, konsep DoF tetap mengharuskan para pihak memenuhi segala bentuk kewajibannya terdahulu sebelum munculnya frustrating event (FE). Unsur pembatalan kontrak di sini, hanya berlaku pasca terjadinya FE.

DoF disebutnya pernah muncul saat Ia menangani kasus Alliance concrete Singapore Pte Ltd (ACS) v Sato Kogyo Pte Ltd (SK) di pengadilan banding Singapura (civil appeal No. 82 of 2013). Pemohon banding (ACS) merupakan pemasok beton siap pakai, sedangkan termohon (SK) merupakan kontraktor untuk industri konstruksi yang berdomisili di Singapura.

Awal mulanya para pihak menyepakati perjanjian untuk memasok beton siap pakai. Akan tetapi, pada 23 Januari 2007, pemerintah Indonesia mengumumkan larangan ekspor pasir beton. Alhasil, supplier tidak bisa mengekspor pasir ke Singapura sehingga mengakibatkan produksi beton menjadi terhambat. Yang ingin dibuktikan dalam sidang ini, apakah larangan ekspor pasir oleh pemerintah Indonesia masuk dalam klasifikasi ‘frustrated event’ sehingga ACS mendapatkan alasan pemaaf melalui DoF?

Muncul perdebatan dalam kasus ini, mengingat unsur ketidakmungkinan (impossibility) yang menjadi syarat mutlak terjadinya suatu FE dianggap tidak terpenuhi. Pasalnya, penyuplai masih bisa melakukan ekspor pasir dari negara selain Indonesia, seperti Malaysia dan Vietnam misalnya. Sekalipun Malaysia dan Vietnam menjual pasir lebih mahal dari kontrak yang diperjanjikan, itu bukan persoalan, karena penyuplai harusnya tetap bisa memperoleh pasir itu. Lain halnya jika dalam kontrak ditentukan tegas bahwa suplaipasir hanya akan diekspor dari Indonesia.

Tags:

Berita Terkait