Keputusan Menkeu Soal Newmont Dinilai Tepat
Utama

Keputusan Menkeu Soal Newmont Dinilai Tepat

Kementerian ESDM belum menyetujui pengalihan tujuh persen saham Newmont ke Pemerintah Pusat.

Oleh:
Yoz
Bacaan 2 Menit
Keputusan Menkeu membeli saham Newmont mendapat dukungan.<br>Foto: Sgp
Keputusan Menkeu membeli saham Newmont mendapat dukungan.<br>Foto: Sgp

Keputusan Pemerintah Pusat membeli tujuh persen saham PT Newmont Nusa Tenggara senilai AS$246,8 juta pada 6 Mei lalu, didukung Indonesian Resources Studies (IRESS). Meski dianggap terlambat, Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara menilai tindakan Menteri Keuangan Agus Martowardojo tepat.

 

Pembelian tujuh persen saham Newmont oleh Pemerintah Pusat diyakini telah sesuai dengan Pasal 41 UU No 1 Tahun 2004 yang berbunyi, Pemerintah dapat melakukan investasi jangka panjang untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan atau manfaat lainnya dalam bentuk saham, surat utang, dan investasi langsung.

 

Menurut Marwan, investasi semacam itu juga diatur dalam PP No 1 Tahun 2008, Pasal 3 ayat (2) huruf (a) jo Pasal 15 ayat (1) yang menyatakan, Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dapat melakukan investasi pemerintah dalam bentuk Investasi Surat Berharga dengan cara pembelian saham atas saham yang diberikan perusahaan. Hal ini diperkuat dengan Permenkeu No 44 Tahun 2011.

 

“Saya setuju, dengan memiliki saham newmont Pemerintah dapat berperan optimal dalam mengawasi, mengelola dan pembayaran pajak oleh perusahaan tambang,” ujarnya dalam acara diskusi bertema “Mengupas Seluk Beluk Permasalahan Tambang PT Newmont Nusa Tenggara, Jumat (10/6), di Jakarta.

 

Dikatakan Marwan, mengelola perusahaan melalui kepemilikan saham merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh jika negara ingin menguasai dan memanfaatkan kekayaan alam secara optimal sesuai dengan Konstitusi. Jadi, lanjutnya, adalah hal yang aneh bila DPR terkesan menghambat pembelian tujuh persen saham Newmont oleh Kemenkeu.

 

Sekadar mengingatkan, proses divestasi saham Newmont membutuhkan waktu yang cukup lama. Kontrak Karya (KK) mengatur Newmont dan Sumitomo wajib mendivestasikan 31 persen sahamnya, masing-masing tiga persen, tujuh persen, tujuh persen, tujuh persen, dan tujuh persen bertahap pada tahun 2006, 2007, 2008, 2009, dan 2010.

 

Sesuai Pasal 24 ayat (3) KK, Pemerintah Pusat memiliki hak pertama untuk membeli, dan dapat beralih kepada daerah atau swasta nasional jika pusat atau daerah tidak menggunakan haknya. Meskipun tidak utuh seharusnya, ketentuan pasal ini telah menerjemahkan Pasal 33 UUD 1945 agar sumber daya tersebut dikuasai negara melalui pusat dan daerah.

 

Proses divestasi 2006 dan 2007 gagal terlaksana karena berbagai kepentingan, termasuk upaya Newmont untuk tetap mendominasi. Oknum-oknum pemerintah bersama sejumlah pengusaha nasional juga terlibat perburuan saham. Kisruh ini menyebabkan pemerintah menggugat Newmont ke arbitrase nasional pada 3 Maret 2008 karena dianggap lalai melakukan divestasi.

 

Pada April 2008, Newmont melayangkan gugatan balik yang mempersoalkan keterlibatan pihak ketiga di balik rencana pembelian oleh pemerintah. Pada 31 Maret 2009, arbitrase memenangkan pemerintah, sedangkan Newmont harus memenuhi kewajiban melanjutkan proses divestasi.

 

Divestasi 2006-2007 digabung dengan divestasi 2008-2009, sehingga total saham yang dieksekusi tahun 2009 menjadi 24 persen. Pemerintah Pusat “diwakili” Menteri Perekonomian Sri Mulyani, menyatakan akan membeli saham tersebut. Sayang, suara pemerintah tidak bulat. Pada semester I 2009, terjadi pertarungan dua “kubu”.

 

Pertama, kubu Pemerintah Pusat, didukung Menkeu Sri Mulyani, Menteri BUMN Sofyan Djalil, dan Wapres Jusuf Kalla. Kedua, “kubu daerah”, didukung oleh menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, Menkokesra Aburizal Bakrie, Kepala BKPM M. Luthfi, dan Ketua DPR Agung Laksono.  

   

Hingga pemerintahan SBY-JK berakhir September 2009, keputusan belum diambil. Wapres JK memang pro pusat, tetapi Presiden SBY yang seharusnya mewakili pusat, tidak bersikap. Namun, setelah SBY-Boediono berkuasa, pada November 2009, Presiden SBY menyetujui pembelian oleh “daerah”.

 

“Karena keputusan SBY ini, pusat gagal menggunakan hak rakyat Indonesia menguasai saham Newmont,” kata Marwan.

 

Ternyata, daerah “meng-kerjasamakan” 24 persen sahamnya dengan perusahaan swasta, Multicapital (Grup Bakrie). Kerja sama ini terwujud dalam perusahaan patungan bernama Multi Daerah Bersaing (MDB), yang merupakan gabungan Multicapital dengan Daerah Maju Bersaing (MDB), milik Pemprov NTB dan Pemda Sumbawa (KS) dan Sumbawa Barat (KSB).

 

MoU kerjasama MDB ditandatangani 11 Juli 2009, dengan pemilikan saham ditanggung Multicapital dan 25 persen DMB. Seluruh dana untuk pembelian 24 persen saham ditanggung Multicapital, tanpa kewajiban membayar oleh DMB (golden share). Namun, kata Marwan, setelah hampir dua tahun tampaknya daerah tidak memperoleh hak sesuai kesepakatan.

 

Belum Setuju

Sementara itu, Kementerian ESDM belum menyetujui pengalihan tujuh persen saham Newmont ke Pemerintah Pusat meskipun perjanjian jual beli divestasi saham tersebut sudah dilakukan. Dalam keterangan persnya, Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian ESDM Sutisna Prawira menyatakan Newmont harus menyelesaikan berbagai persyaratan dan persoalan hukum sebelum surat persetujuan pengalihan saham dikeluarkan.

 

“Mengenai persetujuan pengalihan saham, dengan mengacu pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2009, juga telah dilakukan dengan diberikan pedoman kepada Newmont agar menyelesaikan persyaratan dan hal lain (gugatan hukum pihak ketiga dan hasil Rapat Kerja Gabungan Komisi VII DPR RI dengan KESDM, Kementerian Keuangan, dan Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat tanggal 11 Mei 2011),” kata Sutisna.

 

Namun, ia mengatakan Kementerian ESDM telah menyelesaikan seluruh persyaratan administrasi dengan diterbitkannya surat Dirjen Mineral dan Batubara pada 18 mei 2011 sesuai pasal 24.

 

Kordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas mengatakan sebenarnya banyak masalah hukum yang harus ditanggung perusahaan tambang tersebut. Seharusnya Newmont memberikan royalti kepada negara untuk periode 2004-2010 sebesar AS$382,2 juta sesuai dengan PP 13 Tahun 2000 atau PP 45 Tahun 2003. Menurutnya, royalti tersebut didapat dari penghitungan terhadap realisasi penjualan serta tarif emas dan perak dalam KK Newmont dan tarif royalti tembaga.

 

“Namun, dari laporan keuangan yang pernah disampaikan Newmont selama periode 2004-2010, royalti yang diberikan kepada pemerintah hanya AS$138,8 juta yang didapat dari royalti emas, perak dan tembaga,” urainya.

 

Adanya perbedaan yang sangat jauh antara perhitungan ICW dan Newmont menimbulkan kerugian bagi negara dari royalti sekitar AS$237,4 juta. Kerugian tersebut juga berdampak pada penerimaan pusat dari dana bagi hasil (DBH) tambang sebesar AS$47,5 juta. Sedangkan kerugian pemerintah daerah dari DBH sebesar AS$189,9 juta.

Tags: