Ketua Baleg Curhat Wibawa Hakim Terpuruk
Utama

Ketua Baleg Curhat Wibawa Hakim Terpuruk

RUU Contempt of Court menjadi kebutuhan mendesak dalam rangka melindungi hakim dalam menjalankan tugasnya di pengadilan.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Sejumlah hakim yang tergabung dalam Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI) menyambangi Badan Legislasi DPR, Senin (27/4). Foto: RES
Sejumlah hakim yang tergabung dalam Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI) menyambangi Badan Legislasi DPR, Senin (27/4). Foto: RES
Malang melintang menjalani profesi sebagai seorang hakim menjadi bagian sejarah hidup Ketua Baleg Sareh Wiyono. Hingga akhirnya memasuki pensiun pada 2013, ia pindah haluan menjadi politisi Partai Gerindra di DPR. Kendati sudah tidak menjadi hakim, perhatian Sareh terhadap profesi yang pernah dijalani terus dilakukan, hingga mengusulkan RUU Contempt of Court masuk dalam Prolegnas 2015-2019.

“Saya mengusulkan UU Contemp of court, itu dari saya,” ujarnya saat menerima audiensi Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI), di ruang Baleg DPR, Senin (27/4).

Menyadari kewibawaan hakim kian terpuruk, RUU Contempt of Court menjadi penting dan mendesak untuk dijadikan sebuah UU. Terlebih, imunitas terhadap hakim tidak maksimal. Misalnya, penghinaan terhadap hakim di persidangan bukan kali pertama terjadi. Ironisnya, ancaman hukuman terhadap penghinaan terhadap pengadilan terbilang ringan.

“Makanya saya keras dan terjun ke poliitk karena saya sadar RUU Contempt of Court itu mendasak. Penghinaan terhadap hakim di persidangan itu ancamannya ringan. Hakim dilempar sendal ancamannya ringan. Wibawa hakim lebih hancur. Orang menghina hakim itu bodoh, padahal hakim tidak ada yang bodoh,” ujarnya.

Baginya, terjun ke dunia politik merupakan perjuangan dalam rangka membela profesi hakim yang pernah ia jalani puluhan tahun lalu itu. Ia mengaku sedih ketika hakim acapkali dipanggil Komisi Yudisial berkaitan dengan putusan. Padahal, putusan hakim itu bersifat merdeka. Putusan hakim Sarpin Rizaldi misalnya, dinilai Sareh bagus. Pasalnya, Sarpin membuat terobosan positif.

“Contoh, KPK tidak diatur SP3, makanya bisa praperadilan, tapi putusan Sarpin sudah bagus,” katanya.

Lebih lanjut, mantan Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Barat itu mengatakan ancaman penghinaan terhadap pengadilan acapkali hanya menggunakan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Sayangnya, ancaman hukuman tersebut terbilang ringan. Oleh sebab itu, untuk menjaga wibawa hakim RUU Contempt of Court menjadi penting dan mendesak.

“Dengan tidak adanya UU Contempt of Court, hakim itu tidak terlindungi. Oleh karena itu, dengan masuk Prolegnas kita minta masukan agar hakim tidak dicemooh dan dilindungi,” ujarnya.

Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kisaran, Sumatera  Utara, Muhammad Djauhar Setyadi, mengamini pandangan Sareh. Menurutnya, aturan melindungi lembaga peradilan amatlah penting. Pasalnya, saat ia menjadi hakim di Larantuka Flores Nusa Tenggara Timur, ia pernah memutus bebas terdakwa dalam sebuah perkara.

Ironisnya, setelah itu ia dimaki-maki oleh orang yang tidak puas atas putusan tersebut. Selain itu, pernah satu kali Pengadilan Negeri Larantuka dibakar massa. “Kemudian kami tidak nyaman karena tidak ada pengamanan. Begitu pula dengan Pengadilan Negeri Depok diserang oleh sebuah Organisasi Masyarakat (Ormas),” ujarnya.

Menurutnya, keamanan bagi hakim amatlah penting. Terlebih, hakim di pengadilan tingkat pertama kerap kali berhadapan langsung dengan para pencari keadilan. Oleh sebab itu, UU Contemp of Court amatlah mendesak untuk segera dibahas agar hakim merasa nyaman dalam melakasanakan tugasnya.

“Kalau ada kenyamanan bisa membuat putusan lebih berkualitas,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait