Ketua MA: Hakim Mesti Persiapkan Diri Tangani Sengketa Pilkada
Berita

Ketua MA: Hakim Mesti Persiapkan Diri Tangani Sengketa Pilkada

Diusulkan, penegakkan hukum pilkada atau pemilu lebih mengandalkan jalur nonyudisial agar lebih efektif, efisien, dan berkeadilan. Kecuali untuk pelanggaran tindak pidana pilkada/pemilu ditangani lembaga yudisial atau peradilan.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Tumpah tindih

Dalam kesempatan diskusi, Refly Harun melansir data Bawaslu terdapat 128 laporan dan 153 temuan pelanggaran pilkada seluruh Indonesia baik bersifat pidana, administratif, kode etik dan pelanggaran lain. Untuk pelanggaran pidana terjadi sebanyak 62 kali, pelanggaran administrasi sebanyak 46 kali, pelanggaran kode etik sebanyak 30 kali, dan pelanggaran lainnya sebanyak 72 kali.

 

“Timbul pertanyaan, apakah negara telah menjamin electoral juctice dalam pelaksanaan pilkada, khususnya bagi penyelenggara hukum dan sengketa pilkada. Nyatanya, sampai saat ini problematika tersebut belum terselesaikan hingga kini,” kata Refly.  

 

Dia menilai ada tumpang tindih antara penegak hukum dalam pemilihan kepala daerah. Seperti, Bawaslu, Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan Umum, PTUN, Mahkamah Konstitusi, dan nanti akan ada peradilan khusus untuk pilkada. “Adanya tumpah tindih kewenangan ini menyebabkan begitu banyak mekanisme dan institusi yang terlibat hampir semua lembaga pencari keadilan tidak dapat memulihkan hak mereka yang terlanggar,” kata dia.

 

Salah satu faktornya tidak adanya sinkronisasi proses penyelesaian pelanggaran dalam proses pemilihan dengan proses penyelesaian hasil pemilihan. Belum lagi, kondisi ini diperparah dengan adanya konflik kewenangan antara penyelenggara, Bawaslu dengan DKPP dan lembaga kekuasaan kehakiman.

 

Menurutnya, tidak ada parameter atau batasan yang menyebabkan DKPP dan PTUN masuk terlalu jauh dalam mengurusi sengketa yang didominasi kewenangan Bawaslu dengan menetapkan dan menggugurkan kandidat pasangan calon peserta Pilkada. “Tindakan DKPP dan PTUN terlalu jauh ke ranah penetapan pasangan calon berimplikasi pada tumpang tindih kewenangan yang mengacaukan tertib hukum pemilihan,” kritiknya.

 

Padahal, prinsip penanganan sengketa penetapan pasangan calon pilkada harus dengan mekanisme checks and balances yang mengharuskan pembagian kekuasaan saling menghormati kewenangan lembaga masing-masing. Sesuai Perma tentu PTUN dituntut menangani perkara dengan cepat. Faktanya, putusan PTUN tidak memberi jaminan pemulihan hak konstitusional pasangan calon kepala daerah oleh keputusan KPUD dan sering menimbulkan masalah baru di kemudian hari.

 

“Penyebabnya putusan PTUN tidak menjadi salah satu alasan untuk menunda atau membatalkan tahapan pilkada karena penyelesaian perkara sengketa penetapan calon di PTUN terlalu lama. Kelemahan proses sengketa melalui jalur hukum PTUN ini, maka pembentuk UU mengalihkan kewenangan penyelesaian sengketa penetapan calon peserta pilkada dilakukan oleh Bawaslu,” katanya.

Tags:

Berita Terkait