Kisruh di DPR: Berebut Apa Sebenarnya?
Berita

Kisruh di DPR: Berebut Apa Sebenarnya?

Belum lagi serius melaksanakan tugas-tugas utama yang diamanatkan oleh UUD 1945, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah disibukkan dengan persoalan internal yang berlarut-larut. Dua kelompok anggota DPR dengan kekuatan yang berbeda, sama-sama tak mau mengalah memperebutkan kursi pimpinan komisi.

Zaenal Arifin
Bacaan 2 Menit
Kisruh di DPR: Berebut Apa Sebenarnya?
Hukumonline

Para anggota wakil rakyat hasil Pemilu 2004 itu memang baru saja dilantik 1 Oktober 2004 lalu. Kegiatan mereka sampai sekarang ini masih bersifat internal, konsolidasi antar anggota untuk membentuk alat-alat dan badan-badan kelengkapan DPR. Jadi memang belum dijadwalkan untuk mengurusi masalah-masalah rakyat yang katanya mereka wakili.

 

Tapi justru pada saat-saat konsolidasi itulah terjadi perpecahan. Bermula dari proses pemilihan Ketua DPR. Dua koalisi warisan kelompok-kelompok dalam Pemilu Presiden--Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan--masing-masing mengajukan paket pimpinan DPR dan bersikeras dengan pilihan masing-masing. Pemenangnya, untuk ronde pertama ini, Koalisi Kebangsaan dengan melenggangnya Agung Laksono dari fraksi Golkar sebagai Ketua DPR.

 

'Pertarungan' berlanjut kemudian pada proses pemilihan pimpinan Majelis Permusyawaratan rakyat (MPR). Meski kali ini juga melibatkan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), persaingan utama tetap terjadi antara Koalisi Kebangsaan dengan Koalisi Rakyatkan. Proses pemilihan pimpinan MPR yang dijadwalkan hanya satu hari itu pun akhirnya molor hingga hampir seminggu. Kali ini, Koalisi Kerakyatan berhasil menyeimbangkan skor, ketika Hidayat Nurwahid menang dalam pemungutan suara Ketua MPR.

 

Ternyata pertarungan tidak terhenti ketika skor sudah imbang. Proses pembentukan dan penetapan alat-alat kelengkapan dan badan-badan di DPR yang relatif mulus pembahasannya, tidak diikuti oleh proses pemilihan yang mulus pula, khususnya saat memilih pimpinan komisi.

 

Puncak perseteruan terjadi pada Sidang Paripurna DPR pada 26 Oktober 2004. Pada sidang dengan agenda penetapan para anggota komisi-komisi dan badan-badan DPR tersebut, lima fraksi yang tergabung dalam Koalisi Kerakyatan memboikot sidang paripurna tersebut. Mereka yang memboikot adalah Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fraksi Partai Demokrat (PD), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Fraksi Bintang  Pelopor Demokrasi.      

 

Aksi boikot dilakukan karena kelima fraksi itu kecewa lantaran merasa dikhianati oleh pimpinan DPR dan rekannya di Koalisi Kebangsaan soal tata cara pemilihan pimpinan komisi. Dalam rapat pimpinan fraksi 19 Oktober 2004 sebelumnya, disepakati pemilihan pimpinan 11 komisi di DPR akan dibagi secara proporsional kepada 10 fraksi, bukan dengan jalan voting.

 

Tapi dua hari kemudian kesepakatan itu kandas, saat Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB), Ali Masykur Musa, mempersoalkan jatah kursi pimpinan komisi bagi  fraksinya yang dinilai tidak seimbang dibanding perolehan Fraksi PAN. Karena kesepakatan tak berhasil dicapai, koalisi kebangsaan menganggap mekanisme pemilihan dikembalikan kepada tata tertib DPR.

 

Meski sempat tertunda selama sehari, paripurna yang hanya dihadiri oleh anggota DPR dari koalisi kebangsaan akhirnya mengesahkan daftar nama anggota komisi-komisi serta badan-badan kelengkapan pada paripurna 27 Oktober 2004. Syarat kuorum jumlah fraksi yang sempat menjadi ganjalan di tata tertib, diinterpretasi ulang sekaligus diubah dalam paripurna tersebut. Jadilah komisi-komisi versi koalisi kebangsaan terbentuk dan dilanjutkan dengan pemilihan para pimpinan komisinya setelah itu.

 

Koalisi kerakyatan tidak mau kalah. Mereka membentuk sebelas kelompok komisi (Poksi), meski tidak secara terang-terangan diakui, dinilai publik sebagai tandingan atas dibentuknya sebelas komisi versi Koalisi Kebangsaan. Kerjaannya juga bak komisi sesungguhnya, mengadakan kunjungan ke beberapa tempat, menemui kelompok masyarakat dengan mengatasnamakan DPR.

 

Kemudian, di tengah derasnya komentar dari para pengamat dan penilaian negatif dari elemen masyarakat terhadap kinerja DPR, kedua koalisi yang ‘bertikai' itu memulai proses ‘gencatan senjata'.. Puncaknya saat rapat paripurna DPR pada 9 November yang dihadiri oleh dua kelompok koalisi, setelah sebelumnya koalisi kerakyatan selalu memboikot. Meski belum berlangsung mulus, tapi ada kesepakatan untuk sementara soal proporsi pimpinan komisi akan dibicarakan pada paripurna mendatang.

 

Fungsi pimpinan komisi

 

Begitu gigihnya kedua koalisi itu memperjuangkan pimpinan komisi dari anggotanya masing-masing menimbulkan pertanyaan tersendiri. Apakah posisi pimpinan komisi itu sedemikian penting, sehingga perebutannya sampai sebegitu hebat atau hanya menjadi ajang pamer kekuatan plus gengsi antara kelompok mayoritas dan minoritas di DPR saja.

 

Mengenai hal ini, seorang pengamat politik dan ekonomi Faisal Baasir dalam tulisannya pada harian Republika (4/11) mengatakan bahwa sebenarnya dua koalisi di DPR itu sedang memperebutkan pepesan kosong. Betapa tidak, jabatan pimpinan komisi secara formal tidak mempunyai fungsi yang cukup signifikan dalam kelembagaan DPR.

 

Pendapat Baasir itu ada benarnya juga. Tengok saja aturan dalam Tata Tertib DPR, sebagai landasan pembentukan komisi-komisi DPR dan sumber kewenangan dari para pimpinan komisi itu. Ternyata, tak ada satu aturan pun yang secara tegas ada di bawah sub bab "Tugas Pimpinan Komisi", karena memang tata tertib tidak mengatur secara khusus tugas dan kewenangan dari pimpinan komisi.

 

Pimpinan komisi tidak bisa memberikan persetujuan yang mengikat keluar atas nama DPR, karena memang harus melalui persetujuan kolektif dengan pimpinan dewan. Bahkan sebenarnya fungsi mendasar pimpinan komisi hampir sama dengan para anggota komisi lainnya. Kelebihannya hanya pada saat rapat komisi sedang berlangsung, sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Tata Tertib yang menyebutkan bahwa pimpinan komisi bertugas memimpin rapat komisi.  

 

Tapi apa iya ‘hanya' itu kewenangan pimpinan komisi? Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Erni Setyowati, mengatakan bahwa  sebenarnya jika ditelaah lebih jauh masih ada kewenangan strategis yang secara otomatis melekat pada pimpinan komisi. Misalnya, para pimpinan komisi itu tentu punya andil yang lebih besar dalam menentukan kebijakan internal komisi.

 

Ambil contoh saat menentukan anggota Panitia Kerja (Panja) saat Komisi DPR menjalankan fungsinya dalam hal pembentukan undang-undang. Meski juga memerlukan masukan dari para anggota komisi yang lain, pimpinan komisi mempunyai kewenangan yang lebih dalam menentukan siapa-siapa saja yang akan menjadi anggota Panja. Padahal fungsi anggota Panja ini sangat penting dalam menyusun dan menyempurnakan rancangan undang-undang yang masuk dalam lingkup komisi yang bersangkutan.

 

Contoh lain adalah saat anggota komisi menentukan anggota tim sinkronisasi, yakni tim yang ditugasi untuk melakukan sinkronisasi rumusan pasal-pasal dalam suatu rancangan undang-undang. Mekanisme yang sama dalam penentuan anggota Panja, terjadi juga dalam menentukan anggota tim sinkronisasi. Ada peran lebih pimpinan komisi dalam hal ini.

 

Akhirnya, jika merunut lebih teliti pada naskah tata tertib DPR yang digunakan sekarang ini, ada beberapa peran penting yang dijalankan oleh pimpinan komisi. Sebagian besar dari peran itu adalah dalam hal memberikan pertimbangan kepada pimpinan DPR dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.

 

Dimulai dari Pasal 27 ayat (3) Tata Tertib yang nyatakan bahwa pimpinan DPR dapat memberi pertimbangan atas  nama DPR terhadap sesuatu masalah atau pencalonan orang untuk jabatan tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, atau membentuk tim atas nama DPR  terhadap suatu masalah mendesak yang perlu penanganan segera setelah mengadakan konsultasi dengan Pimpinan Fraksi dan Pimpinan Komisi yang bersangkutan.

 

Selanjutnya peran pimpinan komisi bisa dilihat pada Pasal 91 saat memimpin rapat dengar pendapat komisi dengan pemerintah, Pasal 92 saat memimpin rapat dengar pendapat umum dengan anggota masyarakat baik perseorangan, kelompok ataupun organisasi, dan Pasal 156 dan 157 saat ikut andil memberikan pertimbangan saat pencalonan duta besar baik dalam masa sidang maupun dalam masa reses. Dengan beberapa peranan pimpinan komisi tersebut, mungkin kurang tepat rasanya kalau perebutan pimpinan komisi ini hanya dinilai sebagai perebutan pepesan kosong saja.

 

Urusan rakyat terbengkalai

Terlepas dari seberapa penting posisi pimpinan komisi yang diperebutkan itu, yang jelas kekisruh ini secara langsung mengganggu tugas dan wewenang dewan dalam melaksanakan fungsi dan kewajibannya. Urusan rakyat yang dipercayakan secara penuh kepada wakil-wakil rakyat di gedung dewan itu jadi terbengkalai. Padahal, sudah begitu besar pengorbanan rakyat dalam melakukan proses pemilihan umum hanya untuk mengantar para wakil rakyat itu ke posisinya sekarang ini.

 

Mulai dari fungsi pengawasan, dalam rangka check and balance terhadap kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah. Fungsi ini sangat vital artinya bagi perkembangan demokrasi yang baru akan dikembangkan di negeri ini. Jika fungsi ini tidak berjalan, maka pemerintah bisa seenaknya menerapkan kebijakan yang kemungkinan bisa merugikan masyarakat.

 

Sebaliknya, jalannya roda pemerintahan juga bisa terganggu jika DPR tidak bekerja. Pasalnya, banyak keputusan strategis yang harus dilakukan pemerintah, berdasarkan ketentuan yang berlaku bergantung kepada persetujuan DPR. Apalagi pemerintahan yang baru saja mulai berjalan sekarang ini, tengah memupuk kepercayaan publik melalui program kerja 100 harinya.

 

Fungsi lain yang terbengkalai adalah fungsi menyusun undang-undang. Fungsi ini sangat diharapkan untuk berjalan mengingat beberapa bidang kehidupan rakyat dirasakan mendesak untuk segera diatur dalam undang-undang. Misalnya RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang penyusunannya sudah memakan waktu lebih dari dua tahun, serta keberadaannya yang dirasa mendesak mengingat perkembangan teknologi informasi sekarang ini.

 

Berdasarkan jadwal yang disusun oleh Badan Musyawarah DPR, para anggota dewan itu dijadwalkan untuk merampungkan sekitar 60 rancangan undang-undang yang pembahasannya belum diselesaikan oleh anggota DPR periode lalu. Pekerjaan menyusun undang-undang itu akan terus menumpuk dengan kemungkinan diajukannya lagi beberapa rancangan undang-undang yang dirancang oleh pemerintah.

 

Akhirnya, selain aksi massa yang sepertinya juga tidak dipedulikan oleh para anggota dewan, masyarakat hanya bisa berharap semoga ada kesadaran yang timbul dalam diri tiap anggota dewan itu bahwa mereka dipilih karena mereka dipercaya untuk bisa memperjuangkan aspirasi rakyat, bukan aspirasi kelompok atau kepentingan partai masing-masing. Agar pemerintahan bisa berjalan dengan lebih baik, agar kehidupan rakyat juga bisa lebih sejahtera.

Tags: