Kita Bukan yang Dulu Lagi
Tajuk

Kita Bukan yang Dulu Lagi

Meskipun tahun-tahun di depan tidak menjanjikan kepastian, tetapi hanya menjanjikan ketidakpastian dan perubahan. Marilah kita sambut Tahun Baru 2022 dengan semangat untuk bangkit dan bekerja dengan kolaborasi yang menyenangkan.

RED
Bacaan 7 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pergantian tahun membuat banyak orang melakukan refleksi. Yang lalu dianalisa, yang kemudian dijadikan dasar pijakan rencana ke depan. Masa depan diprediksi dengan menggunakan berbagai asumsi dan data analitik. Itu sebelum Covid-19. Dua tahun terakhir ini menjungkir-balikkan semua kondisi yang ada, asumsi yang tersedia, dan prediksi yang biasanya bisa diukur dengan berbagai data yang teranalisa, dan imajinasi-imajinasi liar tetapi berbasis ilmiah.

Sementara itu, negara tetap harus ada. Pemerintahan dan lembaga negara tetap harus tertata dan berfungsi. Bangsa tetap hidup berkembang menyongsong peradaban baru. Masyarakat dunia tetap saling butuh untuk terhubung. Keluarga yang masih utuh dan keluarga yang terdampak akibat pandemi dan resesi melakukan adaptasi secara alamiah dengan atau tanpa rencana.

Perusahaan tetap berproduksi dan memberikan jasa dengan banyak penyesuaian. Perdagangan berlanjut, dan infrastruktur tetap harus berjalan dan dibangun terus demi kenyamanan hidup dan pembangunan ekonomi. Pendidikan tetap berlangsung agar hidup generasi mendatang lebih kontekstual. Generasi kerja yang menua undur, dan yang baru mendesak maju. Demikian seterusnya seperti juga bumi yang terus berputar di porosnya. Katanya itu kenormalan baru.

Tetapi satu hal menjadi jelas. Dunia sudah berubah. Kita tidak lagi berdiri di koordinat dan titik serta lingkungan yang sama. Data WHO per 22 Desember mencatat 276,436,619 orang telah terinfeksi virus Covid-19, dan sejumlah 5,374.744 meninggal dunia. Jumlah aktual mungkin lebih besar lagi. Kita kehilangan banyak teman, kolega, sanak saudara. Kita kehilangan orang-orang baik dan orang-orang yang potensial mengubah dunia menjadi lebih baik.

Cara kerja secara jarak jauh, sebagian besar dari rumah, sudah menjadi kebiasaan, ketagihan, dan tantangan baru. Pemerintahan dijalankan tanpa banyak terhubung tatap muka. Demikian juga dunia usaha, transaksi bisnis dan investasi kecuali mereka yang berada di jalur produksi, distribusi dan pelayanan jasa penting.

Mega resignation terjadi di mana-mana di tengah kegamangan untuk bagaimana harus bekerja di tengah bahaya yang masih mengintip. Sementara kehidupan keluarga dengan interaksi 24 jam sehari sudah menjadi rutinitas baru. Sama halnya juga dengan pendidikan, perawatan kesehatan, hubungan sosial, keluarga dan pertemanan. Berhubungan melalui monitor, dengan teknologi komunikasi virtual, mungkin cukup untuk sebagian orang, tetapi tentunya tidak untuk mayoritas dari kita.

Terlepas dari semua perubahan dan kenormalan baru tadi, satu hal kiranya menjadi sangat penting, yaitu bagaimana semua ekstrimitas ini bisa mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya cara atau proses pengambilan keputusan baru dari setiap dan semua pengambil keputusan, baik di tingkat pemerintahan, parlemen, lembaga negara, sektor swasta, organisasi masyarakat sipil, hingga orang per orang. Baik yang sifatnya pengaturan kebijakan, teknis pelaksanaan kebijakan, proses pemantauan, penghindaran dan pengambilan risiko, maupun yang sifatnya keputusan-keputusan yang diwarnai oleh berbagai kepentingan publik maupun diri pribadi sendiri.

Sebelum pandemi, kita sudah belajar banyak bahwa proses pengambilan keputusan dilakukan dengan menggunakan: (i) prinsip-prinsip tata kelola yang baik, di tingkat publik maupun non-publik, sehingga transparansi, keadilan, akuntabilitas, dan tanggung jawabnya jelas, (ii) basis faktor-faktor risiko yang dapat dipetakan, dianalisa, dipantau, dan ditata sedemikian rupa, (iii) pertimbangan faktor perlindungan lingkungan hidup dan sosial sehingga jelas manfaat dan dampak lingkungan dan sosial dari keputusan yang diambil. Belum kering tinta ditulis, pandemi menyerang, dan kita rupanya melupakan atau terpaksa tidak menggunakan falsafah dan proses pengambilan keputusan yang sudah kita tanamkan dalam benak kita dalam-dalam, yang bahkan sebagian darinya merupakan perintah undang-undang yang harus dipatuhi.

Dalam pengeluaran kebijakan publik, terlihat adanya kecenderungan: (a) menggunakan kondisi kedaruratan sebagai dasar kebijakan, karena pandemi dan resesi seolah memberi hak mutlak pengambil keputusan untuk memahami semua masalahnya, memberikan semua solusinya, dan menyimpulkan sendiri semua dampaknya (positif maupun negatif) tanpa perlu melalui proses konsultasi dengan publik; (b) menentukan sendiri prioritas kepentingan apa yang harus diatur dan belum atau tidak diatur dalam kondisi serba tidak menentu ini; (c) suara publik, vox populi, tidak cukup didengar, dengan premis tadi, bahwa pengambil keputusanlah yang paling mengetahui kepentingan publik dan dampak kebijakannya terhadap masyarakat luas.

Contoh jelasnya adalah dalam proses keputusan mengubah UU KPK dan UU Minerba. Juga dalam menyusun UU Cipta Kerja serta kebijakan penanganan pandemi (kecepatan respons, testing dan tracing, perawatan mereka yang terinfeksi, penyediaan dan distribusi vaksin), utamanya di awal pandemi. Akibatnya jelas, masyarakat luas protes keras, menolak untuk patuh, atau setidaknya berkurang kepercayaannya terhadap para pelaksana yang berada di barisan terdepan dalam melaksanakan Undang-undang.

Protes dan pembangkangan tidak terjadi efektif, juga karena hambatan-hambatan yang disebabkan pandemi, yang mungkin suatu hal yang sudah diperhitungkan oleh para pengambil kebijakan, sehingga ada kenekatan tertentu dalam pengambilan keputusan. Kita kemudian melihat bahwa sejumlah koreksi dilakukan tegas-tegas ataupun diam-diam, karena memang secara politik tidak mungkin keganjilan-keganjilan tersebut didiamkan.

Misalnya Mahkamah Konstitusi memberikan koreksi, unit terkait penanganan pandemi semakin baik menangani pandemi, dan bekerja berdasarkan kondisi lapangan yang cepat berubah. KPK yang kemudian bergolak, berujung dengan penyelesaian tidak lazim dengan intervensi Kapolri, sehingga nampaknya pada saat ini cukup teredam, tetapi masih mengandung masalah, karena UU KPK yang baru melemahkan institusi dan semangat para pegiat anti korupsi, di dalam dan di luar KPK.

Ke depan, dengan pemilu tahun 2024, di saat mulai terjadinya pergeseran kekuasaan, dan seperti biasa, maraknya politik uang, maka fungsi dan efektivitas KPK yang sudah tererosi bisa sangat dipertanyakan. Dengan kecenderungan tersebut, cara pengambilan kebijakan di unit-unit lain pemerintahan dan lembaga negara juga memerlukan perhatian khusus.

Justru itu terjadi pada saat di mana lembaga pengawas resmi maupun masyarakat sipil sulit bergerak karena pandemi, dan seretnya pendanaan. Kita kemudian melihat adanya potensi masalah besar di sini, yang dampaknya akan terasa langsung, maupun jangka panjang, karena kita tidak tahu bilamana pandemi akan berakhir.

Dunia industri menghadapi gejala dan dampak yang sama dengan begitu banyaknya disrupsi yang terjadi. Industri besar nampaknya cukup siap menghadapi berbagai disrupsi, karena selama satu dasawarsa terakhir, mereka sudah berancang-ancang melakukan transformasi digital dalam kegiatan usahanya, sehingga konsep WFH untuk orang kantorannya sudah tidak asing dan tidak terlalu banyak mempengaruhi kinerja. Yang tidak cukup mereka perhitungkan adalah disrupsi dalam rantai pasok yang terputus atau terganggu waktu penyerahan di sana-sini, apalagi untuk industri yang masih tergantung dari pasokan teknologi, tenaga ahli, dan pendanaan luar negeri, serta bahan baku yang masih banyak diimpor.

Dalam proses pengambilan keputusan, dunia industri yang “advanced” juga sudah terbiasa dengan penerapan GCG, risk-based decision making dan kini prinsip-prinsip ESG (environment, social & governance). Perusahaan-perusahaan ini sudah sangat peduli dengan cara-cara melakukan operasi berkelanjutan, dan karenanya paham untuk melakukan pelibatan masyarakat setempat sebagai social ring defence mereka. Penerapan ESG juga digunakan sebagai cara untuk tetap bertahan hidup, karena dunia perbankan, lembaga keuangan dan pemodal hanya bersedia memberikan pembiayaan dan investasi dalam industri yang paham dan patuh pada prinsip-prinsip ESG.

Dengan keikutsertaan Indonesia dalam gerakan UNCOP26, maka jelas politik hukum dan luar negeri kita memang mencari peluang untuk ikut serta dalam gerakan perubahan iklim ini agar tidak tersisih dari pergaulan dunia. Sekaligus, ini peluang untuk menetapkan strategi mendapatkan dukungan dibolehkannya menerapkan masa transisi yang cukup. Strategi ini disertai dengan permintaan bantuan pendanaan agar kebijakan green economy, yang dibutuhkan oleh negara-negara seperti Indonesia, agar kita mampu seiring dan sejalan dengan negara maju dalam meraih capaian gerakan ini.

Tuntutan yang wajar saja, karena negara-negara maju sudah mengeksploitasi sumber daya alam selama ratusan tahun dengan merusak lingkungan, dan setelah kaya raya menghendaki negara yang belum semaju mereka untuk menghentikan eksploitasi alam. Dengan komitmen ini, mau tidak mau industri kita harus menyesuaikan diri. Kebijakan tersebut, mau tidak mau, suka tidak suka, memaksa sektor swasta untuk ikut ke dalam barisan, dengan ritme dan kemampuannya masing-masing.

Perusahaan yang fokus usahanya berada di bidang eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam menjadi mereka yang langsung terdampak, utamanya yang menggunakan energi fosil sebagai produk maupun sebagai sumber daya dalam proses produksinya. Sekali lagi, pemain besar mempunyai “tabungan”, aset dan daya raih pendanaan yang kuat dalam mengikuti langkah besar dunia ini. Pengusaha menengah dan kecil akan terancam kecuali mereka banting setir, dan memasuki pasar, produk atau jasa baru.

Pengambilan-pengambilan keputusan untuk melakukan penyesuaian inilah yang akan mewarnai dunia pemerintahan dan sektor swasta serta masyarakat sipil, serta kita masyarakat, keluarga dan orang per orang, karena orientasi dan gaya hidup akan jauh berubah. Sementara penyesuaian besar lainnya harus dilakukan secara bersamaan karena disrupsi pandemi dan transformasi atau bahkan revolusi digital.

Dunia hukum tidak luput dari gelombang perubahan besar ini. Proses legislasi, termasuk perumusan hukum dan peraturan perundangan, proses negosiasi dan pembuatan transaksi hukum, dan penyelesaian sengketa akan diwarnai oleh sejumlah indikator: (i) proses pelibatan publik dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan harus tetap dilakukan dengan menggunakan proses digital yang akan sanggup mengolah big data dan memetakan semua kebutuhan pemangku kepentingan; hal ini harus dilakukan dengan berkurangnya cara dan frekuensi pertemuan secara tatap muka; (ii) keberagaman, inklusivitas, perlakuan adil serta penghargaan HAM dalam semua kegiatan akan tetap harus dimunculkan dalam semua perumusan kebijakan dan kegiatan transaksional, (iii) wisdom dari para pemikir dan praktisi dengan integritas tinggi akan tetap punya peran dalam memberi keseimbangan baru atas hasil perumusan kebijakan dan kegiatan transaksional serta penyelesaian perselisihan atau sengketa yang dibimbing dan disajikan melalui olah data dan teknologi.

Big Data yang digunakan untuk proses tersebut akan dihasilkan oleh banyak riset dan penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi, think tank yang punya integritas, jajak pendapat dan survei organisasi masyarakat sipil, perusahaan-perusahaan teknologi hukum, sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan dan lain-lain.

Serapan tenaga untuk proses penyediaan big data ini, yang terus berubah, akan mengurangi kekhawatiran bahwa revolusi digital akan mengurangi jumlah tenaga kerja yang mampu diserap oleh dunia kerja. Kerja dengan keras tidak akan lagi menjadi semboyan kerja dengan gesit, cerdik dan pandailah yang akan menggantikannya.

Meskipun tahun-tahun di depan kita tidak menjanjikan kepastian, tetapi hanya menjanjikan ketidakpastian dan perubahan, marilah kita sambut tahun baru 2022 dengan semangat untuk bangkit dan bekerja dengan kolaborasi yang menyenangkan.

ats, Babakan Madang, Desember 2021 

Tags:

Berita Terkait