Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Suatu Kritik
Kolom

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Suatu Kritik

Setelah lama terpendam di Sekretariat Negara dan mengalami beberapa kali perubahan, akhirnya pada akhir Mei 2003 pemerintah -- melalui Departemen Kehakiman dan HAM -- menyampaikan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) kepada DPR. KKR merupakan implementasi dari TAP MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional guna penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.

Bacaan 2 Menit
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Suatu Kritik
Hukumonline

KKR adalah salah satu jalan yang ditempuh di banyak negara dunia ketiga dalam melewati masa transisi politik menuju demokrasi. Pada dasarnya Indonesia mengadopsi dan meniru KKR Afrika Selatan dalam memuluskan transisi menuju demokrasi, di mana secara politik menghapuskan praktek politik kulit berwarna atau apartheid.

 

Profesor Douglas Cassel, Priscilla Hayner, dan Paul van Zyl  dalam bukunya Beberapa Pemikiran Mengenai Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Elsam:2000) menggambarkan tujuan pembentukan KKR di Indonesia, yaitu: (1) Memberi arti kepada suara korban secara individu; (2) Pelurusan sejarah berkaitan dengan peristiwa-peristiwa besar pelanggaran HAM (common historical narrative); (3) Pendidikan dan pengetahuan publik.

 

Selanjutnya, (4) Memeriksa pelanggaran HAM sistematis menuju reformasi kelembagaan; (5) memberikan assesment tentang akibat pelanggaran HAM terhadap korban dan (6) pertanggungjawaban para pelaku kejahatan. Secara garis besar, KKR memberikan porsi besar bagi para korban maupun keluarganya untuk menyampaikan apa yang mereka derita dan alami berkaitan dengan pelanggaran HAM.

 

Setiap KKR memiliki karakteristiknya masing-masing di berbagai negara yang berakibat banyak perbedaan-perbedaan kewenangan dan fokus permasalahan. Munculnya perbedaan ini disebabkan karena faktor-faktor politik di negara masing-masing. Terutama, posisi korban yang memiliki kekuatan politik dalam melakukan tawar-menawar secara poltik dengan penguasa di masa transisi.

 

Kita bisa melihat Argentina dengan Comision Nacional Para los Desaparecidos (Comadap)-nya memilih kasus-kasus penghilangan paksa sebagai fokus yang akan diungkap. Para ibu dari korban penghilangan paksa yang tergabung dalam Madres de Plaza de Mayo menjadi motor penggerak dalam pengungkapan orang hilang selama rezim militer berkuasa di Argentina. Gerakan mereka sangat terkenal di seluruh dunia. Mereka melakukan demonstrasi damai dengan membentangkan sehelai kain bertuliskan nama keluarga mereka yang hilang di sebuah tempat bernama Plaza de Mayo di jantung kota Buenos Aires ada 28 Juli 1982.

 

Sedangkan Afrika Selatan melalui Truth and Reconciliation (TRC) yang menginvestigasi selama 30 tahun rezim apartheid berkuasa. Kendati demikian, munculnya lembaga ini bukan tanpa kritik yang tajam. Hal ini penting dikarenakan tidak semua kasus pelanggaran HAM masa lalu dapat diselesaikan dengan mekanisme KKR.

 

Antara social harmony dengan moral society

 

Sesuai dengan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), pembentukan KKR Indonesia difokuskan pada penyelamatan persatuan dan kesatuan nasional.  Dengan kata lain, pembentukan KKR ditekankan pada terciptanya social harmony. Namun, seringkali dalam pembentukan social harmony tersebut mengorbankan proses legal justice. Pengalaman Afrika Selatan secara jelas mengambil jalan yang berujung pada impunitas. Tidak ditemukan penuntutan kepada para pelaku pelanggaran HAM (perpetrators) termasuk penghukuman kepada mereka. Suatu harga sangat mahal yang harus dibayar oleh korban dan keluarga korban demi terwujudnya rekonsiliasi.

Tags: