Konsumen Banyak Dirugikan dalam Pengikatan PPJB Rumah Susun
Disertasi Ilmu Hukum:

Konsumen Banyak Dirugikan dalam Pengikatan PPJB Rumah Susun

Draf perjanjian pengikatan jual beli seharusnya bisa diakses dan dipelajari pembeli lebih dahulu.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Sidang terbuka promosi doktor ilmu hukum Fennieka Kristianto. di FH UI Depok. Foto: MYS
Sidang terbuka promosi doktor ilmu hukum Fennieka Kristianto. di FH UI Depok. Foto: MYS

Setelah meneliti 18 perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) satuan rumah susun, putusan pengadilan, dan sejumlah peraturan perundang-undangan, terungkap bahwa dalam pengikatan PPJB satuan rumah susun di Indonesia, konsumen masih sangat dirugikan. Padahal, dari konsep hukum perjanjian, seharusnya ada keseimbangan kepentingan antara pengembang dengan kepetingan calon konsumen. “Faktanya, konsumen lebih banyak dirugikan,” kata Fennieka Kristianto.

 

Pernyataan Fennieka itu merupakan bagian dari poin penting dari disertasi ilmu hukum yang berhasil ia pertahankan di hadapan sidang terbuka di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Selasa (15/1). Ketua Program Studi Ilmu Hukum Universitas Presiden (April 2015-Agustus 2018) itu mempertahankan disertasi ‘Prinsip Keseimbangan Antara Konsumen dan Pelaku Usaha dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun’ dalam sidang dipimpin Profesor Rosa Agustina.

 

Fennieka memaparkan fakta tentang kebutuhan perumahan di Indonesia, termasuk rumah susun, seiring dengan pertumbuhan penduduk. Perkembangan bisnis properti di perkotaan memperlihatkan kebutuhan yang tinggi terhadap rumah susun. Laporan BPS menunjukkan bahwa pada 2015 prosentase penduduk yang menempati rumah sendiri telah mencapai 82,63 persen, naik dibanding 2010 yang baru mencapai 78 persen. Tetapi juga tercatat ada 11,4 juta rumah tangga Indonesia yang tidak menghuni rumah sendiri, termasuk masyarakat berpenghasilan rendah.

 

Seiring dengan pertumbuhan satuan rumah susun, banyak pula sengketa yang terjadi. Dengan mengutip pengaduan masyarakat ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonsia, terlihat bahwa mayoritas dari 126 pengaduan masyarakat tahun 2016 terkait dengan satuan rumah susun atau hunian vertikal. Ada dua jenis pengaduannya. Pertama, pengaduan akibat terjadinya pelanggaran hak-hak individu konsumen perumahan seperti mutu bangunan di bawah standar dan ukuran luas area tak sesuai yang dijanjikan. Kedua, pengaduan atas pelanggaran hak-hak kolektif seperti ketiadaan fasilitas umum, sertifikat fiktif, dan legalitas bangunan. Acapkali pengaduan itu berbuntut pada sengketa ke pengadilan.

 

(Baca juga: YLKI Minta Negara Jamin Hak-Hak Keperdataan Konsumen di Kasus Meikarta)

 

Selain sengketa, Fennieka menegaskan kepesatan pertumbuhan bisnis properti di Indonesia belum didukung regulasi yang memadai. Memang, sudah ada UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, dan UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Namun peraturan pendukung dan peraturan pelaksanaannya belum rampung. Atau, peraturan teknisnya sudah tidak sesuai perkembangan keadaan. Misalnya, Keputusan Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) No. 111 Tahun 1994 mengenai pedoman pembuatan perjanjian pengikatan jual beli satuan rumah susun sudah tak sesuai isinya dengan UU Rumah Susun.

 

Peraturan perundang-undangan  yang ada belum dapat memenuhi prinsip keseimbangan kepentingan bagi para pihak  dalam suatu PPJB satuan rumah susun. Hasil penelitian Fennieka menunjukkan PPJB satuan rumah susun dan surat pemesanan satuan rumah susun tetap dilaksanakan meskipun syarat20 persen keterbangunan rumah susun belum tercapai. Seringkali konsumen diharuskan menandatangani PPJB meskipun pembangunan rusun baru pada pembebasan lahan atau baru tahap ground breaking.

 

Pelanggaran hukum itu terjadi karena konsumen berada dalam kedudukan yang tidak seimbang dengan pelaku usaha. Tidak ada penerapan prinsip persamaan kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen rumah susun berdasarkan asas keseimbangan pada PPJB rumah susun. Penelitian terhadap 18 perjanjian pengikatan jual beli menunjukkan pelaku usaha menetapkan secara sepihak PPJB sebagai perjanjian baku meskipun isinya berat sebelah dan sangat merugikan konsumen.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait