Sebagaimana hasil analisis pada revisi penetapan penyesuaian nilai UMP di DKI Jakarta, di mana Gubernur DKI Jakarta -Anies Baswedan-, tidak lagi mengacu pada UU Ciptaker c.q. PP No.36/2021, tetapi kembali merujuk PP No. 78/2015. Dalam kaitan ini, ada dua pertanyaan yang muncul.
Pertama, apakah peraturan perundang-undangan yang dinyatakan inkonstitusional oleh MK masih dapat dijadikan rujukan dalam pengambilan keputusan atau pembuatan suatu kebijakan? Kedua, apakah peraturan perundang-undangan yang sudah dicabut/diubah masih dapat menjadi dasar hukum penetapan UMP dimaksud?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus dilihat dari beberapa Amar Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/20202 dan Putusan MK No. 103/PUU-XVIII/20202 serta ketentuan dalam UU Mahkamah Konstitusi.
Salah satu Amar Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/20202 Dalam Pokok Permohonan menyatakan, bahwa UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan”.
Maksudnya, walau UU Ciptaker dinyatakan inkonstitusional sementara, akan tetapi bilamana dalam jangka waktu dua tahun sejak diucapkan tidak dilakukan perbaikan, maka akan menjadi inkonstitusional -secara- permanen. Amar Putusan tersebut, diistilahkan dengan inkonstitusional bersyarat.
Jika mencermati kewenangannya, MK berwenang mengadili dan menguji -suatu- undang-undang terhadap UUD 1945 -baik secara materil maupun uji formil- pada tingkat pertama dan terakhir dengan putusan yang bersifat final. Terkait kewenangan tersebut, dalam hal uji materil, Putusan MK yang amar putusannya menyatakan, bahwa materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang diuji bertentangan dengan UUD 1945, -hanya- dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, -atau yang disebut inkonstitusional-.
Baca juga: