KPK-PPATK Bahas Beneficial Ownership
Berita

KPK-PPATK Bahas Beneficial Ownership

Perpres mengenai Beneficial Ownership juga sangat penting karena pelaku-pelaku itu bernaung di bawah korporasi tertentu.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Pimpinan KPK Agus Rahardjo (tengah), Ketua PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin (kanan) dan Wakil Kepala PPATK, Dian Ediana Rae (kiri) memberikan keterangan usai melakukan pertemuan tertutup di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (6/3). Foto: RES
Pimpinan KPK Agus Rahardjo (tengah), Ketua PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin (kanan) dan Wakil Kepala PPATK, Dian Ediana Rae (kiri) memberikan keterangan usai melakukan pertemuan tertutup di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (6/3). Foto: RES

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan rapat koordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membahas kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"Ada beberapa hal, kami ingin tingkatkan kerja sama dan komunikasi. Jadi, dari kasus korupsi yang kami tangani hari ini kan banyak yang belum diikuti dengan TPPU nanti akan ditingkatkan," kata Ketua KPK Agus Rahardjo setelah rapat koordinasi itu di gedung KPK, Jakarta, Selasa (6/3/2018) seperti dikutip Antara.

 

Pertemuan itu, kata Agus, juga membahas soal Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme atau yang dikenal sebagai Beneficial Owner (BO).

 

Beneficial Ownership dalam hal tindak pidana korporasi. kalau ada perusahaan sebenarnya siapa sih pelaku di belakangnya yang menerima keuntungan, itu Perpres," ucap Agus. Baca Juga: Pemerintah Tegaskan Komitmen Perangi Penyalahgunaan Beneficial Ownership

 

Selain itu, kata Agus, KPK bersama PPATK ingin mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai transaksi uang kartal segera dibahas di DPR.

 

"Jadi, nanti mudah-mudahan dengan pembatasan transaksi itu tindak pidana korupsi itu bisa diminimalkan karena sudah dilarang misalnya melakukan transaksi uang kartal yang besar, misalnya dibatasi Rp100 juta," tuturnya.

 

Selanjutnya yang tidak kalah penting, kata Agus, PPATK saat ini membantu KPK dalam membuat data mengenai politically exposed person.

Tags:

Berita Terkait