Kreditor Separatis Tetap di Atas Buruh
Berita

Kreditor Separatis Tetap di Atas Buruh

MK dituding lebih mementingkan kepentingan kapitalis dibandingkan kepentingan rakyat. Rekomendasi sinkronisasi peraturan dinilai tidak bermanfaat banyak.

Ali
Bacaan 2 Menit
Kreditor Separatis Tetap di Atas Buruh
Hukumonline

 

Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi mengatakan posisi buruh dan kreditor separatis selaku pemodal adalah berbeda. Sehingga menjadi tidak adil bila sesuatu yang berbeda itu diperlakukan sama. Unsur modal dan buruh tidak dapat dikatakan sama, baik dilihat dari sifat, asal-usul, dan perannya, ucapnya saat membacakan pendapat mahkamah.

 

Selain itu, Arsyad menjelaskan bila urutan prioritas kreditor separatis diturunkan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Bila kreditor separatis tak lagi didahulukan maka akan berakibat tidak adanya rangsangan atau motivasi yang cukup bagi para pemodal untuk menanamkan modalnya. Tiadanya jaminan akan kembalinya modal akan menyebabkan tidak terciptanya lapangang kerja yang diperlukan pekerja, ujarnya.

 

Meski begitu, lanjut Arsyad, perlindungan terhadap buruh juga tak boleh dikesampingkan. Karenanya, majelis hakim konstitusi mendesak agar pembentuk UU perlu melakukan sinkroniasasi dan harmonisasi undang-undang yang terkait dengan pengaturan hak-hak buruh. (untuk) Memberikan jaminan dan perlindungan hukum yang lebih baik terhadap pekerja atau buruh dalam hal terjadi kepailitan, kata Mahfud.  

 

Secara tegas, Hakim Konstitusi Akil Mochtar menilai perlunya menutup celah kelemahan hukum dengan mengatur hubungan antara buruh dan debitor dalam UU Ketenagakerjaan melalui berbagai kebijakan sosial yang konkret.

 

Akil menambahkan apabila seluruh perusahan habis untuk membayar kreditor separatis, sehingga upah buruh tak terbayarkan maka peran negara akan menjadi penting. Dibutuhkan campur tangan negara untuk mengatasi keadaan demikian melalui berbagai kebijakan sosial yang konkret, tuturnya.

 

Siap duduki aset

Ditemui usai persidangan, Sekretaris Umum FISBI Muhammad Hafidz terlihat kecewa. Apalagi pertimbangan MK lebih mementingkan pemilik modal dibanding buruh. Ia mengutip pertimbangan mahkamah yang menyatakan bila UU ini dibatalkan maka akan mengganggu stabilitas investor. MK yang sekarang lebih mementingkan kepentingan kapitalis dibandingkan kepentingan rakyat, kritiknya.

 

Hafidz juga mengaku pesimis bila sinkronisasi seperti yang diusulkan MK itu bisa menguntungkan buruh. Menurutnya, setiap ada rencana perbaikan UU yang didahulukan bukan kepentingan buruh, melainkan kepentingan pemodal dan kurator. Apalagi, lanjutnya, proses pembuatan UU di DPR memakan waktu yang tak sebentar. Tak bisa sehari dua hari selesai, tambahnya.

 

Namun, meski kecewa perjuangan untuk memperjuangkan hak buruh belum selesai. Bila upaya hukum di MK telah usai dengan keluarnya putusan ini, Hafidz telah menyiapkan upaya hukum baru. Kita akan gunakan hukum alam, tegasnya. Ia mengatakan bila buruh tetap tak bisa memperoleh haknya, maka buruh akan duduki semua aset perusahan. Kalau aset tak bisa dijual, kita sama-sama rugi, ujarnya.

 

Hafidz mengatakan buruh dan kreditor separatis punya kekuatan dan kelemahan masing-masing. Ia mengakui kreditor separatis seperti bank memang bisa mengeksekusi haknya. Tapi ingat, kalau yang (aset,-red) mau dieksekusi itu ditongkrongi oleh buruh, apa bisa itu dijual, tukasnya. 

 

Hafidz memang tak main-main. Ia memprediksi krisis keuangan dunia ini akan berdampak kepada bangkrutnya industri-industri di Indonesia. Perusahaan yang akan dipailitkan pun, menurut Hafidz akan semakin banyak. Sehingga konflik antar buruh dan kreditor separatis akan meningkat. Namun, yang pasti, belasan buruh yang hadir di sidang MK ini terlihat sangat kecewa. Hari ini, buruh berkabung, ujar salah seorang di antara mereka.

Buruh harus kembali gigit jari. Permohonan pengujian UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diajukan oleh pengurus Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI) dan buruh PT Sindol Pratama ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal ini kali kedua pengurus FISBI mengajukan judicial review UU No. 37 Tahun 2004 ke MK. Sebelumnya, MK menyatakan permohonan FISBI tidak dapat diterima atau niet ontvankelijk verklaard. 

 

Permohonan yang diajukan memang masih serupa dengan sebelumnya. Intinya, pemohon mempersoalkan sejumlah ketentuan dalam UU Kepailitan yang mendahulukan kreditor separatis dibanding buruh. Kreditor separatis adalah kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, serta hak agunan atas kebendaan lainnya. UU Kepailitan menyebutkan bila sebuah perusahaan pailit maka pembayaran kepada kreditor separatis didahulukan dari kreditor lainnya, termasuk buruh.   

 

Disini inti persoalannya. Dalam praktek, bila perusahaan pailit, buruh acapkali gigit jari. Pasalnya, aset perusahaan kerap habis untuk membayar utang ke kreditor separatis. Sehingga buruh tak mendapat harta sepeser pun.  

 

Kesal dengan kondisi seperti itu, FISBI membawa UU Kepailitan diuji konstitusionalitasnya ke MK. Mereka berpendapat sejumlah ketentuan dalam UU Kepailitan bertentangan dengan hak-hak pekerja sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

 

Namun, MK melihat tak ada pertentangan antara UU Kepailtan dengan konstitusi. Bahwa Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 UU Kepailitan dan PKPU tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Mahfud MD di ruang sidang MK, Kamis (23/10).

Tags: