Kritik Jatam atas Dua Surat Kementerian ESDM Terkait Sentralisasi Pengelolaan Minerba
Berita

Kritik Jatam atas Dua Surat Kementerian ESDM Terkait Sentralisasi Pengelolaan Minerba

Terhitung 11 Desember 2020 kewenangan pemerintah daerah provinsi mengelola pertambangan mineral dan batubara (minerba) beralih ke pemerintah pusat. Kebijakan ini dinilai makin mempersulit masyarakat terdampak untuk mendapat keadilan.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Pemerintah daerah provinsi juga diminta untuk menyampaikan kepada seluruh pelaku pertambangan minerba yang telah mengajukan permohonan izin dan telah memenuhi persyaratan untuk memproses lebih lanjut penerbitan IUP melalui BKPM. Terutama untuk pelaku usaha yang telah diberikan WIUP mineral bukan logam, WIUP bukan logam jenis tertentu, atau WIUP batuan.

Surat kedua, bernomor 1482/30.01/DJB/2020 ditujukan kepada Kepala BKPM yang berisi 4 poin. Pertama, menegaskan ketentuan Pasal 173C UU No.3 Tahun 2020 dimana ada peralihan kewenangan pertambangan minerba dari pemerintah daerah provinsi kepada pemerintah pusat. Kedua, berakhirnya moratorium perizinan baru di bidang pertambangan minerba. Ketiga, ada perubahan nomenklatur perizinan yang tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM No.25 Tahun 2015 dengan nomenklatur perizinan dalam UU No.3 Tahun 2020 dan UU No.11 Tahun 2020 tentang UU Cipta Kerja.

“Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka melaksanakan Instruksi Presiden No.4 Tahun 2015 tentang Pelayanan Perizinan Satu Pintu di BKPM, kami harapkan agar layanan perizinan di bidang pertambangan minerba dapat dilayani kembali melalui BKPM terhitung 11 Desember 2020,” demikian bunyi surat bernomor 1482/30.01/DJB/2020 itu. (Baca Juga: Menyoal Wewenang Pemerintah Pusat Terbitkan Izin Usaha Pertambangan)

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah, menilai kebijakan tersebut tak hanya menarik kewenangan pemerintah daerah provinsi, tapi juga melucuti kewenangan daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan pemegang izin tambang. Dia menilai hal ini semakin mempersulit akses warga terdampak untuk melapor dan mengadu pada pemerintah yang berwenang karena jaraknya semakin jauh karena ditarik ke pemerintah pusat.s

Menurut Merah, sebelum kedua surat tersebut terbit saja masyarakat terdampak kerap mengalami kesulitan saat mengadu dan melapor kepada pemerintah provinsi karena kawasan pertambangan jaraknya relatif jauh dari pusat pemerintahan provinsi. “Ketika rentang birokrasi ditarik semakin jauh lagi menjadi di Jakarta, maka akan menambahkan rintangan bagi warga untuk mendapatkan keadilan,” kata Merah ketika dihubungi, Selasa (5/1/2020).

Merah berpendapat kebijakan ini tidak dilakukan melalui kajian komprehensif yang berangkat dari analisis masalah secara ilmiah dan empirik di lapangan. Akibatnya, kebijakan ini tidak menjawab masalah sebenarnya yang terjadi di lapangan. Jatam mencatat masalah yang ada di wilayah tambang karena alokasi ruang tambang yang melampaui batas daya dukung dan beban ekologi, tidak ada hak veto rakyat, dan sulit mengakses informasi karena manipulasi, kriminalisasi, dan pengusiran warga.

Bagi Merah, sentralisasi kewenangan ini hanya menggeser ruang korupsi dari daerah ke pusat, mendekati oligarki besar di Jakarta. Sebab, tidak ada hak veto rakyat atau instrumen hak untuk mengatakan tidak dalam setiap rantai perizinan pertambangan. Kebijakan ini tidak memberikan dampak yang baik terhadap warga yang berada di sekitar wilayah pertambangan karena mereka akan selalu menghadapi krisis.

Tags:

Berita Terkait