KUHP Bisa Jerat Pendukung ISIS, Kok Jarang Dipakai Polisi?
Berita

KUHP Bisa Jerat Pendukung ISIS, Kok Jarang Dipakai Polisi?

Polisi mengaku kesulitan dalam pembuktian.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Buku KUHP. Foto: SGP
Buku KUHP. Foto: SGP
Serangkaian ledakan bom dan kontak tembak di kawasan Sarinah yang terjadi pada 14 Januari 2016 lalu sempat mengguncang Indonesia. Pasca kejadian tersebut, Kepolisian melansir dalang serangan itu adalah Bahrun Naim. Bahrun disebut-sebut telah berada di Suriah dan bergabung dengan kelompok negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).  

Walau ISIS berada jauh di Suriah, tetapi jaringannya menebar teror di sejumlah negara. Indonesia, bahkan Perancis menjadi dua negara yang terkena sasaran teror. Penyebaran ISIS di Indonesia juga tidak dapat terelakan. Buktinya, ada beberapa warga negara Indonesia (WNI) yang pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.

Sepulang dari Suriah, ada WNI yang mengajak jemaah untuk mendukung eksistensi dan menyumbang dana bagi ISIS. Sebut saja, Pengurus Harian Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) Muhammad Aries Raharjo atau Afief Abdul Madjid yang pernah mengikuti pelatihan militer ISIS. Afief divonis enam tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.

Namun, itu pun bukan hanya karena Afief menjadi pendukung ISIS, melainkan karena Afief juga terbukti turut memberikan dana sebesar Rp25 juta untuk kegiatan Tadrid Askari di Pegunungan Jalin Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Nangroe Aceh Darussalam. Padahal, KUHAP telah memberikan instrumen untuk menjerat para pendukung ISIS.

Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Arsil mengatakan, para pendukung ISIS dapat dijerat dengan Pasal 139a, 139b, dan 139c KUHP. Ketiga pasal itu mengatur ancaman pidana bagi WNI yang ikut melakukan makar (anslag) atau serangan di negara sahabat.

"Orang-orang Indonesia yang terlibat, tidak hanya sekadar mendukung, tapi ikut berpartisipasi dalam kegiatan perang di sana, bisa kena Pasal 139a atau Pasal 139b KUHP. Jadi, yang pulang dari sana setelah melakukan kegiatan itu bisa ditangkap karena ikut melakukan serangan atau makar," katanya kepada hukumonline, Selasa (26/1).

Sementara, untuk WNI yang ikut melakukan konspirasi atau pemufakatan jahat dengan maksud sebagaimana Pasal 139a dan 139b KUHP, walau belum ikut perang, menurut Arsil, juga bisa dikenakan Pasal 139c KUHP. Pemufakatan dimaksud, seperti membantu tindakan perang di Suriah dengan mengumpulkan dana dan sebagainya.

Apabila melihat unsur Pasal 139a, 139b, dan 139c KUHP, sebenarnya perlu dicermati apakah ISIS melakukan serangan/makar dengan maksud melepaskan wilayah atau meniadakan/mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan negara sahabat. Perlu dicermati pula apakah negara yang diperangi ISIS adalah negara sahabat Indonesia.
Pasal 139a : Makar dengan maksud melepaskan wilayah atau daerah lain dari suatu negara sahabat untuk seluruhnya atau sebagian dari kekuasaan pemerintah yang berkuasa di situ, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
Pasal 139b : Makar dengan maksud meniadakan atau mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan negara sahabat atau daerahnya yang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 139c : Pemufakatan jahat untuk melakukan kejahatan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 139a dan 139b, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan

Arsil menjelaskan, tujuan serangan ISIS adalah melepaskan wilayah Irak dan Suriah dari pemerintah yang berkuasa untuk dilebur menjadi Negara Islam Irak dan Suriah. ISIS juga berkeinginan mengubah bentuk pemerintahan negara menjadi negara Islam versi ISIS. Baik negara Irak maupun Suriah merupakan negara sahabat Indonesia.

Suatu negara bisa disebut sebagai "negara sahabat" dapat dilihat dari ada atau tidaknya hubungan diplomatik. Arsil mengungkapkan, Indonesia memiliki hubungan diplomatik dengan Irak dan Suriah yang ditandai dengan adanya kedutaan besar Indonesia di kedua negara itu. Jadi, Irak dan Suriah adalah negara sahabat Indonesia.

Dengan demikian, Arsil berpendapat, Pasal 139a, 139b, dan 139c KUHP dapat dikenakan kepada para pendukung ISIS. Namun, tidak berarti ketiga pasal itu dapat diterapkan kepada setiap orang yang hanya menyebarkan paham radikalisme ISIS. Para penyebar paham radikalisme ISIS yang menjurus kepada penyebaran kebencian bisa dikenakan Pasal 156 KUHP.

Sayang, meski KUHP telah menyediakan instrumen untuk menjerat para pendukung ISIS, Kepolisian jarang menerapkan pasal-pasal tersebut. Padahal, paham radikalisme ISIS bisa jadi menelurkan bibit-bibit terorisme. Arsil menduga, Pasal 139a, 139b, dan 139c KUHP jarang digunakan karena Polisi tidak kepikiran untuk memakai ketiga pasal itu.

Alasan Polri
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Anton Charliyan membenarkan jika WNI yang ikut mendukung perang ISIS dapat dikenakan Pasal 139a, 139b, dan 139c KUHP. Namun, ketiga pasal ini jarang digunakan karena Polisi kesulitan pembuktian. "Polisi kan harus berdasarkan bukti. Buktinya itu harus di sana dia ikut berperang. Siapa yang jadi saksi di sana?" ucapnya.

Apalagi, menurut Anton, Suriah sedang dalam kondisi yang tidak kondusif. Sangat sulit untuk mendapatkan saksi yang menyaksikan adanya WNI yang ikut berperang bersama ISIS. Bisa jadi, WNI yang pergi ke Suriah itu ternyata bukan untuk berperang, tetapi berdagang atau menjadi perawat. Jika seperti ini, tentu sulit dibuktikan di pengadilan.  

Selain itu, kesulitan polisi adalah ketika menghadapi pola pikir para pendukung ISIS yang menganggap semua orang di luar ideologi mereka sebagai kafir atau thaghut. Anton menyatakan, sulit untuk mendapatkan keterangan jujur dari para pendukung ISIS karena mereka "halal" berbohong dengan musuh yang tidak se-ideologi.

"Kemarin saja, Bahrun Naim bilang, 'Saya nggak kok". Bagi ajaran mereka, kita ini dianggap orang kafir, thaghut. Berbohong kepada orang kafir itu tidak apa-apa. Kalau perlu jangan ngaku karena kita kafir, musuh, thaghut. Mereka ini gerakan radikal, boleh memusuhi yang tidak se-ideologi, meskipun seagama. Susah kan," tuturnya.

Kalaupun ada seorang saksi yang menyaksikan, Anton beranggapan tidak langsung bisa dijadikan alat bukti. Alasannya, unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi). "Harus ada pembuktian nyata, misalnya foto dia berperang. Ini yang menjadi kesulitan. Kalau nanti perkaranya nggak maju-maju, dibilangnya Polisi mandeg. Kan pusing kita," tandasnya.
Tags:

Berita Terkait