Lagi, Warga Jadi Korban Peradilan Sesat
Berita

Lagi, Warga Jadi Korban Peradilan Sesat

Dihukum karena dianggap merusak pagar. MA membatalkan hukuman itu.

Oleh:
Ady
Bacaan 2 Menit
Pengadilan Negeri Tangerang. Foto: Sgp
Pengadilan Negeri Tangerang. Foto: Sgp

Peradilan sesat terhadap korban salah tangkap kembali terjadi. Bila beberapa waktu lalu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membebaskan Hasan Basri, pengojek yang dituduh mencuri, kini peradilan sesat menimpa warga Desa Petir, Cipondoh, Tangerang bernama Marwan.

Marwan diadili dan dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Tangerang melakukan perusakan pagar milik PT Sumber Kencana Graha, perusahaan pengembang perumahan. Hukuman Marwan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Banten.

Marwan yang mengaku tak melakukan pidana terus melakukan upaya hukum. Didampingi kuasa hukum dari LBH Jakarta, Marwan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Beruntung, pada September 2011, hakim kasasi membatalkan putusan sebelumnya. Ia dibebaskan dari dakwaan jaksa penuntut umum.

Tuduhan perusakan pagar yang ditujukan kepada Marwan bermula dari sengketa tanah. Ia menuding Sumber Kencana Graha menyerobot tanah milik ibu sepupunya yang bernama Nasrudin. Penyerobotan itu dilakukan dengan pemagaran tanah milik ibu dari Nasrudin.

Tak terima dengan pemagaran itu, Nasrudin lalu merusak pagar. Polisi lalu menangkap Nasrudin. Sepekan kemudian giliran Marwan yang dicokok.

Marwan menduga penangkapan yang dilakukan oleh polisi berkaitan dengan aktivitasnya menolak aksi penyerobatan tanah Sumber Kencana. “Maksud mereka biar warga takut dan mau menjual tanahnya dengan harga murah,” kata dia kepada hukumonline di kantor LBH Jakarta, Rabu (15/8).

Pasca putusan MA, Marwan berharap nama baiknya dapat dipulihkan dan ada kompensasi atas kerugian yang dialaminya. Pasalnya, selama menjalani proses peradilan, Marwan tidak dapat bekerja, sehingga upah yang diterima tidak seperti biasanya. Selain itu Marwan juga mendapat stigma buruk dari orang dekatnya karena pernah masuk tahanan.

Salah seorang advokat publik LBH Jakarta, Maruli Tua Sirajagukguk, mengatakan proses persidangan di Tangerang seolah seperti peradilan sesat. Pasalnya ada indikasi untuk memaksakan orang yang tidak bersalah menjadi bersalah. Dalam persidangan, Maruli mengatakan Nasrudin sebagai tersangka mengakui telah melakukan perusakan pagar milik PT SKG. Namun, ketika Marwan mencabut keterangan di persidangan majelis hakim menganulirnya karena hal itu dianggap tidak beralasan. Atas dasar itu majelis PN Tangerang memutus Marwan bersalah.

Perbaikan KUHAP
Pengacara publik LBH Jakarta lainnya, Febionesta, mengatakan kasus yang menimpa Marwan bukan kasus salah tangkap, tapi kriminalisasi. Pasalnya, dari proses penangkapan dan tuduhan yang dijatuhkan, sudah jelas mengarah pada pemidanaan Marwan. Dalam proses penegakan hukum, Febionesta melihat ada indikasi mafia peradilan, karena ada upaya memaksakan suatu kasus. Menurutnya hal ini dapat terjadi karena aparat penegak hukum yang korup.

Pria yang akrab disapa Mayong itu mengatakan, sering menemukan aparat kepolisian yang dimanfaatkan pihak tertentu untuk mengkriminalisasi masyarakat. Padahal, proses penegakan hukum dapat berlanjut kalau ada dua alat bukti yang cukup dan harus diperoleh dengan cara yang tidak melawan hukum.

Sayangnya, lanjut Mayong, KUHAP tidak dapat mengakomodir persoalan itu, sehingga di beberapa kasus aparat penegak hukum seringkali mau menerima alat bukti yang diperoleh dari kegiatan melawan hukum. Bagi Mayong, jika alat bukti tersebut diperoleh dengan cara melawan hukum, seharusnya tidak dapat diterima. Hal tersebut menurutnya harus diatur dalam KUHAP.

Berbagai cara melawan hukum yang kerap ditemui dalam rangka mencari alat bukti misalnya melakukan penyiksaan, manipulasi dan lainnya. “Harus ada pembenahan sistem peradilan pidana yang terintegrasi dari sistem penyidikan (dalam perolehan alat bukti) dan dilengkapi dengan mekanisme pengawasan internal dan eksternal,” ujarnya.

Terkait proses pasca putusan bebas, seperti yang terjadi dalam kasus Marwan, Mayong melihat mekanisme yang ada belum mampu mengakomodasi rasa keadilan masyarakat atau korban. Pasalnya, korban yang harus aktif menuntut adanya rehabilitasi. Seharusnya ketika hakim memutus bebas dan memerintahkan negara untuk merehabilitasi, maka negara harus memiliki mekanisme yang serta-merta memberikan hal tersebut untuk korban.

Menurut Mayong, para korban kasus salah tangkap atau kriminalisasi sudah mengalami trauma, sehingga jika dituntut untuk mengajukan proses hukum untuk mendapatkan rehabilitasi dan ganti rugi maka trauma itu akan muncul kembali. Sehingga korban berpotensi besar enggan untuk mengajukan mekanisme hukum tersebut dan tidak mendapatkan ganti rugi serta rehabilitasi. “Harusnya ada perbaikan mengenai rehabilitasi dan ganti rugi, baik itu dalam KUHAP ataupun peraturan lainnya,” pungkasnya.

Tags: