Menyoal Perma 4/2019 Sebagai Dasar Menolak Legal Standing Permohonan Pailit
Kolom

Menyoal Perma 4/2019 Sebagai Dasar Menolak Legal Standing Permohonan Pailit

Ke depannya UU Kepailitan perlu diamandemen atau direvisi antara lain dengan membatasi minimum nilai utang sebagai legal standing dalam mengajukan permohonan pailit dan PKPU.

Bacaan 7 Menit

Adapun pertimbangan hakim, penulis kutip antara lain sebagai berikut:

Menimbang, bahwa Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak mengatur mengenai syarat jumlah minimum pengajuan tagihan, namun Mahkamah Agung telah menerbitkan PERMA No. 4 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana dengan nilai gugatan materil paling banyak Rp. 500.000.000. (lima ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana. Gugatan sederhana diajukan terhadap perkara cidera janji dan/atau perbuatan melawan hukum dengan waktu penyelesaian gugatan sederhana paling lama 25 (dua puluh lima) hari.

Menimbang, bahwa jumlah tagihan Para pemohon dengan nilai tagihan dibawah Rp. 500.000.000. (lima ratus juta Rupiah) tersebut Majelis Hakim memandang bahwa nilai tagihan tersebut tidak sebanding dengan dampak diputuskannya debitor dalam keadaan pailit, yang dapat mematikan bisnis debitor, mengingat masih ada prosedur gugatan sederhana yang juga sama-sama menerapkan pembuktian sederhana dan waktu yang singkat yang dapat ditempuh oleh Para Pemohon.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas oleh karena nilai piutang/tagihan dibawah Rp. 500.000.000. (lima ratus juta rupiah) dan terdapat Perma No. 4 Tahun 2019, maka dengan berpedoman pada pasal 8 ayat (6) UUKPKPU, meskipun dalam perkara permohonan aquo terbukti sederhana, namun Majelis Hakim memutuskan untuk menolak permohonan pailit para pemohon.

Penulis merasa perlu mengkritisi Putusan No. 37 dan penerapan Peraturan Mahkamah Agung oleh Majelis Hakim Niaga sebagai dasar menolak permohonan kepailitan karena nilai utang yang kecil dan kaitannya apakah UU Kepailitan perlu membatasi minimum nilai utang.

Perma 4/2019 Bukan Pelengkap UU Kepailitan

MA dalam menjalankan kewenangannya mempunyai fungsi antara lain mengatur guna memperlancar penyelenggaraan peradilan yang kerap kali terhambat karena belum lengkapnya atau belum adanya pengaturan hukum acara yang terdapat dalam UU. Oleh karenanya MA banyak menerbitkan Perma yang bersifat pelengkap (complimentary) dalam arti merupakan penyempurnaan atau pelengkap terhadap perundang-undangan yang sudah ada.

Hal ini sesuai Pasal 79 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, yang menyebutkan: “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini”.

Jika di luar negeri dikenal pengadilan yang menangani perkara-perkara perdata sederhana dengan nilai gugatan kecil (small claim court) maka ketentuan hukum acara perdata yang berlaku yaitu Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg) dan Reglemen Indonesia yang diperbaharui (HIR) tidak mengatur pemeriksaan perkara dengan membedakan nilai objek dan gugatan, serta sederhana tidaknya pembuktian.

Tags:

Berita Terkait