Ramai-ramai orang dibuat tersentak dengan terbitnya putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst yang menyatakan tahapan pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024 yang sudah berjalan harus dihentikan dan diulang dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari. Putusan tersebut dinilai banyak kalangan amat serampangan dengan menganulir mandat Pasal 22E UUD 1945.
“Putusan ini bukan lagi keliru substansinya, namun amat kental dengan nuansa politis,” ujar anggota Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana melalui keterangan tertulisnya, Selasa (7/3/2023).
Adagium hukum yang menyebutkan Res Judicata Pro Veritate Habetur -putusan hakim harus dianggap benar- tentu menjadi sulit diimplementasikan dalam putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus). Sebab, hasil akhir persidangan ini telah merobek rasa keadilan masyarakat dan merusak tatanan hukum di Indonesia. Atas dasar itulah ICW, menurut Kurnia memberi lima catatan dari aspek hukum.
Pertama, secara terang benderang PN Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan gugatan perdata yang dilayangkan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA). Alasannya, secara yurisdiksi hukum yang tepat memproses tuntutan Partai PRIMA adalah Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Baca juga:
- Putusan PN Jakpus Penundaan Pemilu, Menkopolhukam: Kita Harus Lawan Secara Hukum
- LHKP Muhammadiyah: Putusan PN Jakarta Pusat Tunda Pemilu Menentang Konstitusi
Dalam persidangan, Partai PRIMA menyoal dua produk hukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, Berita Acara tentang Rekapitulasi Hasil Verifikasi Administrasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu yang menjadikan calon peserta Pemilu tersebut gagal melewati tahapan verifikasi administrasi. Mengacu Pasal 466 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait persoalan Partai PRIMA masuk kategori sengketa proses pemilu. Sedangkan mengacu Pasal 468 dan 470 UU 7/2017 yurisdiksi hukum berada di Bawaslu dan PTUN, bukanlah PN.
Apalagi penyelesaian sengketa proses pemilu Partai PRIMA di Bawaslu dan PTUN berujung kandas. Karenanya putusan akhir PTUN menjadi final dan mengikat. Tapi menjadi tak masuk akal objek gugatan yang sama diajuk ke lembaga yang tidak diberikan kewenangan menyidangkan perkara, yakni PN Jakpus.