Lima HAM Internasional yang Belum Bisa Dipenuhi
Berita

Lima HAM Internasional yang Belum Bisa Dipenuhi

UU Ormas menjadi salah satu pusat perhatian.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Lima HAM Internasional yang Belum Bisa Dipenuhi
Hukumonline
Human Right Working Group (HRWG) mencatat sepanjang tahun 2013v kebijakan luar negeri Indonesia di bidang HAM masih sebatas prosedural dan formalitas belaka. Menurut Direktur Eksekutif HRWG, Rafendi Djamin, kebijakan yang ditelurkan pemerintah di bidang HAM itu tidak berkontribusi terhadap proses pemajuan dan perlindungan HAM di tingkat nasional.

Sebab, sampai saat ini tidak ada upaya serius pemerintah untuk menindaklanjuti berbagai rekomendasi yang disampaikan oleh mekanisme HAM internasional. Seperti rekomendasi Universal Periodical Review (UPR) 2012 dan Komite HAM PBB 2013. “Sehingga penegakan HAM di dalam negeri masih jalan di tempat,” kata Rafendi dalam jumpa pers di kantor HRWG Jakarta, Selasa (21/1).

Di tingkat global, ada lima hal yang belum mampu dicapai pemerintah sepanjang tahun 2013. Pertama, kantor Komisi HAM PBB memberi perhatian khusus terkait pelaksanaan hukuman mati, pengesahan UU Ormas dan aksi kekerasan.

Walau Indonesia berkomitmen melakukan moratorium hukuman mati, selama 2013 Kejaksaan justru mengeksekusi lima orang terpidana mati. Padahal, komitmen moratorium itu sudah dinyatakan pemerintah Indonesia dalam sidang umum PBB di tahun 2012. “Hal ini menggugurkan prestasi positif Indonesia yang telah menghentikan hukuman mati sejak 2008,” ujarnya.

Kedua, Rafendi menilai pemerintah gagal memenuhi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Padahal, hampir setiap prosedur HAM PBB menyampaikan rekomendasi terkait hak ini. HRWG mencatat selama 2013 tidak ada penurunan intensitas kekerasan dan pelanggaran atas hak setiap orang untuk beragama dan berkeyakinan. Ironisnya, walau dinilai gagal memenuhi hak tersebut, Presiden SBY malah diberi penghargaan untuk toleransi oleh LSM asal Amerika Serikat.

Ketiga, pemerintah gagal meratifikasi konvensi internasional, terutama tentang Penghilangan Paksa dan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT). Penolakan sejumlah partai politik untuk meratifikasi konvensi Penghilangan Paksa bagi Rafendi menunjukan rendahnya komitmen pemerintah, DPR serta partai politik untuk tidak mengulangi praktik praktik brutal yang terjadi di masa Orde Baru. Sementara keengganan meratifikasi konvensi Perlindungan PRT menandakan pemerintah dan DPR tidak serius melindungi pekerja migran Indonesia. “Sebagian besar pekerja migran Indonesia adalah PRT,” tandasnya.

Ratifikasi konvensi Voluntary Principle on Security and Human Rights yang rencananya dilakukan lewat Keppres, mandek di kantor Presiden. Menurut Rafendi hal itu pertanda kegagalan pemerintah di tahun 2013 untuk serius menyelesaikana agenda reformasi di sektor keamanan.

Keempat, berkaitan dengan pekerja migran Indonesia, Rafendi menyebut pemerintah tidak maksimal melakukan perlindungan. Padahal tahun 2012 konvensi Perlindungan Pekerja Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya sudah diratifikasi. Baginya, kegagalan itu disebabkan oleh absennya kebijakan yang menyeluruh tentang perlindungan perkerja migran sebagai upaya lanjut dari ratifikasi. “Penanganan pekerja migran masih bersifat reaktif dan temporer,” tukasnya.

Kelima, pemerintah belum mampu mengesahkan Protokol Tetap Perlindungan Pengungsi. Indonesia, menurut Rafendi, lebih fokus pada retorika perbedaan pandangan tentang pemberantasan penyelundupan manusia. Padahal, yang dibutuhkan adalah mekanisme perlindungan dan penanganan pengungsi atau pencari suaka secara komprehensif. Misalnya, menyediakan tempat yang layak. Sehingga semua pengungsi dan pencari suaka yang singgah di Indonesia mendapat perlindungan yang baik.

Walau melontarkan kritik, Rafendi mengatakan HRWG mengapresiasi keterlibatan dan kerjasama pemerintah dengan mekanisme HAM PBB. Seperti menyampaikan laporan atas pelaksanaan konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) serta Hak Anak Indonesia. Selain itu pemerintah juga berkomitmen untuk mengundang pelapor khusus PBB bidang Perumahan Layak serta bekerjasama dengan Komite HAM PBB dalam review pelaksanaan Hak Sipil dan Politik (Sipol).

Pada kesempatan yang sama Program Manager Advokasi HAM ASEAN HRWG, Daniel Awigra, mengapresiasi kerja-kerja Komisi HAM ASEAN (AICHR) yang berupaya menginisiasi dan mendorong pemerintah Indonesia melaksanakan Mandat 10 TOR AICHR pada 25 Juni 2013. Dengan mandat itu perwakilan AICHR dari berbagai negara diundang untuk mendapatkan informasi terkait situasi HAM di Indonesia.

Tapi, jika melihat peristiwa HAM di ASEAN yang terjadi selama 2013, pria yang disapa Awi itu menemukan masih banyak persoalan. Misalnya, kasus Rohingya, penghilangan paksa aktivis HAM asal Laos dan penahanan jurnalis karena mengkritik kerajaan Thailand. Serta banyak kasus-kasus HAM di Indonesia yang berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Seperti kasus pengungsi Syiah, penyerangan terhadap Ahmadiyah dan penutupan Gereja. “Di titik ini terbukti AICHR dengan mandat yang sangat lemah pada aspek perlindungan HAM, gagal membuktikan dirinya sebagai lembaga HAM di kawasan ASEAN selama 4 tahun,” tuturnya.

Di tingkat Organisasi Kerjasama Islam (OKI), dikatakan Awi, HRWG mendukung proses pemajuan HAM oleh Komisi Independen Permanen HAM OKI (IPHRC). Serta mengapresiasi upaya IPHRC untuk terus bekerja dan independen. Namun, Awi menyoroti tidak adanya akses masyarakat sipil, misalnya untuk terlibat dalam sesi Ketiga IPHRC pada Oktober 2013 di Arab Saudi. Hal itu menunjukan independensi IPHRC masih dipengaruhi oleh negara anggota OKI. “Lemahnya dukungan pemerintah Indonesia terhadap IPHRC menjadikan pembangunan HAM di OKI menjadi stagnan,” paparnya.

Awi mengatakan Indonesia akan menjalani proses evaluasi di bawah mekanisme HAM PBB, terutama hak Ekosob dan hak anak. Sidang itu dijadwalkan akan berlangsung pada 30 April sampai 1 Mei 2014 di Komite Hak Ekosob PBB. Serta Komite Hak Anak di PBB pada 26 Mei 2014. Selain itu pada Maret 2014 di sidang Dewan HAM, pelapor khusus Perumahan layak akan menyampaikan hasil pemantauannya atas kunjungan yang pernah dilakukan ke Indonesia tahun 2013.

Tak ketinggalan Awi menjelaskan tahun ini dapat digunakan pemerintah Indonesia untuk menunjukan komitmennya di bidang HAM dengan melaksanakan bermacam rekomendasi kunci Komite HAM PBB dan pelaksanan rekomendasi UPR yang masuk tahun kedua. Jika rekomendasi itu tidak dijalankan maka penilaian terhadap kebijakan luar negeri Indonesia di bidang HAM yang dianggap sebatas formalitas dan prosedural semakin kuat. Penilaian itu juga akan terlihat dalam keseriusan pemerintah melanjutkan berbagai ratifikasi konvensi yang mandek.

Di ranah ASEAN, Awi berpendapat pemerintah Indonesia harus menunjukan kepemimpinannya dalam mereformasi AICHR melalui review TOR AICHR. Di level Organisasi Konperensi Islam (OKI), pemerintah Indonesia perlu mendorong IPHRC menjadi lembaga yang kuat dalam rangka perlindungan dan pemajuan HAM.
Tags:

Berita Terkait