Kekerasan Terhadap Pers Masih Mewarnai 2013
Berita

Kekerasan Terhadap Pers Masih Mewarnai 2013

Hal ini menunjukan lemahnya perlindungan terhadap jurnalis.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Kekerasan Terhadap Pers Masih Mewarnai 2013
Hukumonline
Runtuhnya rezim orde baru menjadi angin segar bagi dunia jurnalistik di Indonesia. Soalnya, kebebasan jurnalisme dimulai pada periode ini dengan dibentuknya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers oleh Presiden B.J Habibie. Hingga saat ini, awak pers mendapatkan perlindungan hukum dan kebebasan pers dibawah naungan UU tersebut.

Namun, regulasi yang jelas ternyata tak menjamin adanya perlindungan dan kebebasan terhadap jurnalis. Beberapa kekerasan fisik kerap dialami oleh awak pers tanpa adanya kejelasan penyelesaian kasus, seperti naik ke meja hijau atau persidangan.

Berdasarkan catatan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), jumlah kasus kekerasan yang dialami jurnalis pada 2013 sebanyak 50 kasus. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut meliputi ancaman atau teror, pengusiran dan larangan peliputan, serangan fisik, sensor, tuntutan/gugatan hukum, pembredelan atau larangan terbit, regulasi, demonstrasi dan pengerahan masa, perusakan kantor serta perusakan alat.

Menurut Direktur Eksekutif LBH Pers, Nawawi Bahrudin, maraknya kekerasan menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap jurnalis, terutama mereka yang bekerja di wilayah konflik dan rawan. Beberapa titik kelemahan tersebut adalah perlindungan yang minim dari media tempat jurnalis bekerja, adanya kelemahan perlindungan dari pemerintah seperti impunitas atau pembiaran pelaku kejahatan dari tanggung jawab hukum menjadi penyebab meningkatnya kekerasan terhadap jurnalis.

“Tidak adanya tindakan hukum terhadap pelaku kekerasan oleh pemerintah menyebabkan kasus kekerasan semakin meningkat, karena tidak ada efek jera bagi pelaku dan edukasi bagi masyarakat untuk mencegah kekerasan,” kata Nawawi di Jakarta, Selasa (31/12).

Selain itu, tak sedikit jurnalis yang bekerja tidak sesuai kode etik jurnalistik sehingga kerap menjadi persoalan atas pemberitaan. Bahkan, kasus kekerasan yang dialami oleh jurnalistik justru berujung dengan perdamaian dengan cara penawaran pemasangan iklan oleh pelaku kekerasan di media yang bersangkutan.

Berdasarkan catatan LBH Pers, lanjutnya, hanya sebagian kecil kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis yang kemudian diusut dan diadili. Di samping itu, hingga saat ini pemerintah khususnya aparat Kepolisian masih memiliki utang yang belum terbayarkan yakni mengusut tuntas dan membawa para pelaku pembunuh jurnalis khususnya kasus pembunuhan terhadap jurnalis Bernas Yogya, Fuad Muhammad Sjafruddin yang sangat mendesak karena akan daluarsa pada Agustus 2014 mendatang.

Dalam hal regulasi dan kebijakan media, kriminalisasi kebebasan berekspresi melalui media online masih kerap terjadi. Misalnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mengeluarkan kebijakan yang membatasi internet. Kebijakan dimaksud adalah Rancangan Peraturan Menteri tentang Konten Multimedia yang kemudia diubah nama menjadi RPM tentang Tatacara Penanganan Laporan Konten Internet Negatif.

Sayangnya, RPM tersebut masih belum disahkan dan Kemkominfo mengeluarkan surat edaran kepada perusahaan penyedia jasa internet (ISP) untuk melakukan filtering dan pemblokiran konten pornografi di internet.

“Akhirnya surat edaran itu menimbulkan problematika karena tidak ada definisi mengenai pornografi yang jelas dan masih mengacu pada UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi,” ujarnya.

Akibatnya, ketidakjelasan definisi pornografi menjadi ancaman terhadap konten-konten nonpornografi yang memiliki batasan tipis dengan pornografi. Apalagi, lanjut Nawawi, penentuan konten yang diblokir diserahkan kepada perusahaan ISP, yang tentu saja tidak mengerti soal konten jurnalisme. Hal ini, selain menimbulkan ancaman blokir juga mencederai netralitas jaringan yang menjadi prinsip dalam hukum internet. Kasus pemblokiran website ourvice menjadi salah satu contohnya.

Untuk itu, beberapa hal yang dipandang penting oleh LBH Pers adalah mengawal beberapa rancangan undang-undang yang menjadi program prioritas prolegnas 2014, yaitu revisi UU Penyiaran, RUU Konvergensi Telematika, Revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Rancangan KUHP.

Sedangkan rekomendasi yang ditujukan LBH Pers kepada pemerintah adalah merealisasikan perlindungan bagi keselamatan jurnalis dalam menjalankan tugas jurnalistiknya sesuai dengan resolusi Dewan HAM PBB tanggal 27 September 2012, yang menyatakan pentingnya keselamatan jurnalis sebagai unsur fundamental pada kebebabas berekspresi.

Melaksanakan UU Penyiaran dan Putusan MK tanggal 3 Oktober 2012 untuk mencegah berlanjutnya monopoli kepemilikan media, memastikan regulasi yang dibuat harus menjamin kebebasan pers dan kebebasan berekspresi serta tidak melakukan intervensi pers.“Untuk DPR, diharapkan dapat meningkatkan fungsi kontrol terhadap pemerintah dalam mengawal kebebasan pers di Indonesia,” jelas Nawawi.

Selanjutnya, untuk lembaga penegak hukum seperti hakim, polisi, jasa dan advokat diharapkan dapat melakukan proses hukum terhadap tindak kekerasan terhadap jurnalis, menggunakan UU Pers dalam menyelesaikan masalah pers dan melaksanakan nota kesepahaman antara Polri dan dewan pers, dalam penegakan hukum dan perlindungan kebebasan pers.

Kepada pekerja pers, diharapkan dapat memaksimalkan peran strategis media dalam pemberantasan korupsi, melakukan sosialisasi UU Pers, meningkatkan profesionalisme dalam melaksanakan kerja jurnalistik, menulis dengan dasar KEJ dan UU Pers 1999, melaksanakan peran dan fungsi pers dengan melakukan pengawsan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum serta melakukan konsolidasi untuk melawan setiap kekerasan terhadap jurnalis dan kebijakan yang mengancam kebebasan pers.

“Dan untuk perusahaan media, diharapkan dapat memberikan ruang yang luas kepada jurnalis untuk meningkatkan profesionalisme, menghargai hak-hak karyawan untuk bebas berserikat dan berkumpul,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait