Lima Usulan Pemerintah atas Materi Muatan RUU MK
Berita

Lima Usulan Pemerintah atas Materi Muatan RUU MK

Materi muatan RUU MK yang merupakan usulan Baleg DPR ini sebelumnya mendapat kritikan dan penolakan dari sejumlah elemen masyarakat.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

"Dinamika pengaturan mengenai syarat untuk menjadi Hakim Konstitusi menunjukkan bahwa harapan masyarakat dari waktu ke waktu terhadap kualitas ideal Hakim Konstitusi semakin meningkat, sehingga pengaturan mengenai syarat dan mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Hakim Konstitusi perlu diatur lebih baik dan proporsional, namun tetap konstitusional," katanya.

Sebelumnya, Revisi UU No. 8 Tahun 2011 tentang UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang diajukan Baleg DPR ini menimbulkan pertanyaan publik. Alhasil, sejumlah koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari ICW, PSHK Indonesia, Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif), Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH UNAND, Pukat UGM, dan YLBHI menolak rencana DPR untuk merevisi UU MK yang ketiga kalinya ini.   

Alasannya pada April lalu, Baleg DPR mengusulkan perubahan aturan syarat usia, batas pensiun hakim konstitusi, dan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK dalam RUU MK.

Dalam Pasal 4 ayat (3) draf RUU MK mengatur tentang masa jabatan ketua dan wakil ketua MK selama lima tahun yang mengubah pasal serupa dalam UU No. 8 Tahun 2011 yang menyebutkan masa jabatan ketua dan wakil ketua adalah 2 tahun 6 bulan. Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d RUU MK itu, syarat usia minimal calon hakim konstitusi diubah dari 47 tahun menjadi 60 tahun tanpa batas usia maksimal.  

Selain itu, Pasal 87 huruf c RUU MK menghapus Pasal 22 UU No. 24 Tahun 2003 yang mengatur periodeisasi masa jabatan hakim konstitusi selama 5 tahun dan dapat dipilih untuk satu kali masa jabatan 5 tahun berikutnya. Dalam Pasal 87 huruf c RUU MK itu, intinya usia pensiun hakim konstitusi (dari 60 tahun) hingga usia 70 tahun disamakan usia pensiun hakim agung.

Dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu, Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera Bivitri Susanti menilai penentuan kualitas hakim dan putusannya tidak hanya dilihat dari usianya. Menurutnya, masih ada sejumlah indikator utama lain yang dapat menentukan kapabilitas hakim konstitusi, seperti rekam jejak dan pengalaman penanganan perkara.

Bivitri menilai draf RUU MK tersebut tidak substansi karena tidak ada poin perbaikan/pembenahan masalah penguatan kelembagaan MK saat ini. Apalagi, naskah akademik RUU MK ini pun tidak ada, yang melatarbelakangi (rasionalitas) setiap perubahan pasal-pasalnya.

“Kita tidak melihat urgensinya RUU MK kalau hanya mengenai syarat usia dan masa jabatan hakim konstitusi. Akan lebih baik bila isi dari RUU ini mengatur perbaikan institusional yang diperlukan MK saat ini,” usulnya.

Menurutnya, tidak ada usia ideal atau tidak ideal menjadi seorang hakim MK. Yang terpenting, bagaimana cara pemilihannya, rekam jejaknya. “Kita jangan terjebak persoalan ukuran usia. Untuk mengetahui kualitas seorang hakim, misalnya pemilihannya dibuat pertanyaan terbuka dan jawaban-jawabannya akan dapat dilihat kualitas calon hakim MK tersebut,” katanya.

Tags:

Berita Terkait