Lima Usulan Pemerintah atas Materi Muatan RUU MK
Berita

Lima Usulan Pemerintah atas Materi Muatan RUU MK

Materi muatan RUU MK yang merupakan usulan Baleg DPR ini sebelumnya mendapat kritikan dan penolakan dari sejumlah elemen masyarakat.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: Hol
Gedung DPR. Foto: Hol

Menkumham Yasonna H. Laoly mengatakan pada prinsipnya Pemerintah menyambut baik dimulainya pembahasan Revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK)dan bersedia melakukan pembahasan bersama dengan DPR. Secara khusus, Yasonna menyampaikan lima usulan pemerintah terkait pembahasan RUU MK yang menjadi usul inisiatif DPR ini.   

Pernyataan ini disampaikan oleh Yasonna saat mewakili pemerintah bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) dan Kementerian Keuangan dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Gedung Parlemen, Senin (24/8/2020).

"Kami menyampaikan beberapa hal untuk menjadi pertimbangan dalam proses pembahasan RUU MK ini,” ujar Yasonna dalam keterangannya, Senin (24/8/2020). (Baca Juga: Ini Sejumlah Materi RUU MK yang Bakal Dibahas)

Yasonna mengusulkan beberapa hal yang menjadi bahan pembahasan RUU ini. Pertama, batas usia minimum hakim konstitusi. Kedua, persyaratan hakim konstitusi yang berasal dari lingkungan peradilan Mahkamah Agung. Ketiga, batas pemberhentian hakim konstitusi karena berakhir masa jabatannya. Keempat, anggota Majelis Kehormatan MK yang berasal dari akademisi yang berlatar hukum. Kelima, legitimasi hakim konstitusi yang sedang menjabat terkait perubahan Undang-Undang ini.  

Dia juga menyebut usulan perubahan substansi lain terkait RUU Perubahan Ketiga Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK yang berkaitan dengan teknik penyusunan dan perubahan redaksional. Ketua Bidang Hukum DPP PDI Perjuangan  ini menegaskan Pemerintah bersedia dan terbuka melakukan pembahasan secara lebih mendalam terhadap seluruh materi muatan dalam RUU yang merupakan inisiatif DPR itu.

"Tanggapan Pemerintah mengenai RUU tentang Perubahan Ketiga Atas UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi secara terperinci akan disampaikan dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)," ucapnya lelaki 67 tahun tersebut.

Yasonna juga menyebutkan bahwa Pemerintah menyadari perlunya pengaturan terkait MK. "MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman perlu dijamin kemerdekaannya. Namun demikian, kemerdekaan kekuasaan kehakiman tetap perlu diatur guna mencegah terjadinya tirani yudikatif dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis."

"Dinamika pengaturan mengenai syarat untuk menjadi Hakim Konstitusi menunjukkan bahwa harapan masyarakat dari waktu ke waktu terhadap kualitas ideal Hakim Konstitusi semakin meningkat, sehingga pengaturan mengenai syarat dan mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Hakim Konstitusi perlu diatur lebih baik dan proporsional, namun tetap konstitusional," katanya.

Sebelumnya, Revisi UU No. 8 Tahun 2011 tentang UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang diajukan Baleg DPR ini menimbulkan pertanyaan publik. Alhasil, sejumlah koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari ICW, PSHK Indonesia, Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif), Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH UNAND, Pukat UGM, dan YLBHI menolak rencana DPR untuk merevisi UU MK yang ketiga kalinya ini.   

Alasannya pada April lalu, Baleg DPR mengusulkan perubahan aturan syarat usia, batas pensiun hakim konstitusi, dan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK dalam RUU MK.

Dalam Pasal 4 ayat (3) draf RUU MK mengatur tentang masa jabatan ketua dan wakil ketua MK selama lima tahun yang mengubah pasal serupa dalam UU No. 8 Tahun 2011 yang menyebutkan masa jabatan ketua dan wakil ketua adalah 2 tahun 6 bulan. Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d RUU MK itu, syarat usia minimal calon hakim konstitusi diubah dari 47 tahun menjadi 60 tahun tanpa batas usia maksimal.  

Selain itu, Pasal 87 huruf c RUU MK menghapus Pasal 22 UU No. 24 Tahun 2003 yang mengatur periodeisasi masa jabatan hakim konstitusi selama 5 tahun dan dapat dipilih untuk satu kali masa jabatan 5 tahun berikutnya. Dalam Pasal 87 huruf c RUU MK itu, intinya usia pensiun hakim konstitusi (dari 60 tahun) hingga usia 70 tahun disamakan usia pensiun hakim agung.

Dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu, Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera Bivitri Susanti menilai penentuan kualitas hakim dan putusannya tidak hanya dilihat dari usianya. Menurutnya, masih ada sejumlah indikator utama lain yang dapat menentukan kapabilitas hakim konstitusi, seperti rekam jejak dan pengalaman penanganan perkara.

Bivitri menilai draf RUU MK tersebut tidak substansi karena tidak ada poin perbaikan/pembenahan masalah penguatan kelembagaan MK saat ini. Apalagi, naskah akademik RUU MK ini pun tidak ada, yang melatarbelakangi (rasionalitas) setiap perubahan pasal-pasalnya.

“Kita tidak melihat urgensinya RUU MK kalau hanya mengenai syarat usia dan masa jabatan hakim konstitusi. Akan lebih baik bila isi dari RUU ini mengatur perbaikan institusional yang diperlukan MK saat ini,” usulnya.

Menurutnya, tidak ada usia ideal atau tidak ideal menjadi seorang hakim MK. Yang terpenting, bagaimana cara pemilihannya, rekam jejaknya. “Kita jangan terjebak persoalan ukuran usia. Untuk mengetahui kualitas seorang hakim, misalnya pemilihannya dibuat pertanyaan terbuka dan jawaban-jawabannya akan dapat dilihat kualitas calon hakim MK tersebut,” katanya.

Tags:

Berita Terkait