Memperingati Mayday 2024, Masyarakat Sipil-Serikat Buruh Minta UU Cipta Kerja Dicabut
Utama

Memperingati Mayday 2024, Masyarakat Sipil-Serikat Buruh Minta UU Cipta Kerja Dicabut

Tercatat 2 periode pemerintahan Presiden Joko Widodo banyak menerbitkan kebijakan yang merugikan buruh dan keluarganya. Salah satunya UU Cipta Kerja dan aturan turunannya.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Sejumlah organisasi serikat buruh saat demonstrasi menolak RUU Cipta Kerja. Foto: RES
Sejumlah organisasi serikat buruh saat demonstrasi menolak RUU Cipta Kerja. Foto: RES

Hari buruh internasional yang jatuh setiap 1 Mei selalu disambut antusias serikat buruh/pekerja dan masyarakat sipil di berbagai negara dengan menyelenggarakan demonstrasi. Tak terkecuali di Indonesia, demonstrasi yang digelar itu mengusung sejumlah isu perburuhan antara lain mendesak pemerintah untuk mencabut UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi UU. Alasan utamanya, beleid itu memuat ketentuan yang merugikan buruh dan keluarganya.

Ketua YLBHI Muhammad Isnur menilai selama Presiden Joko Widodo berkuasa 2 periode, rakyat termasuk kalangan buruh menjadi korban. Caranya antara lain dengan membungkam hak-hak konstitusional dan demokrasi rakyat untuk menentukan kebijakan yang berdampak pada perlindungan dan pemenuhan hak-hak buruh dan keluarganya. “Perlindungan terhadap hak dan kesejahteraan buruh terus dikurangi atas nama kemudahan investasi dan pemulihan ekonomi,” kata Muhammad Isnur saat dikonfirmasi, Kamis (2/5/2024).

Baca Juga:

Tak lama setelah dilantik menjadi Presiden pada periode pertama pada tahun 2015, Jokowi menerbitkan PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Serikat buruh menolak peraturan itu karena penetapan upah minimum hanya ditetapkan berdasarkan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Ketentuan itu melucuti peran serikat buruh untuk memperjuangkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya.

Lalu tahun 2020, pemerintah dan DPR menerbitkan UU Cipta Kerja dengan menggunakan mekanisme omnibus law. Masyarakat sipil menguji beleid itu ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan hasilnya putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Intinya, MK menyatakan proses pembentukan UU Cipta Kerja tidak melalui tahap pembentukan UU yang baik, tanpa partisipasi publik bermakna, dan bertentangan dengan konstitusi.

Alih-alih menjalankan putusan MK tersebut pemerintah malah menerbitkan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Isinya sebagian besar sama seperti aturan sebelumnya. DPR kemudian menyetujui Perppu itu dan terbitlah UU No.6 Tahun 2023 itu. Selain itu, pandemi Covid-19 memperparah kebijakan perburuhan terutama dalam fleksibilitas hubungan kerja, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan upah murah. Hal ini bisa dilihat dari data YLBHI-LBH periode Maret 2020-April 2021 jumlah laporan perburuhan yang diterima sangat tinggi. Ada 79 dari 106 kasus yang dilaporkan terkait kasus individual buruh, dan sisanya kasus kolektif yang didampingi serikat pekerja.

Kemudian, Presiden Jokowi menerbitkan PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, dan Waktu Istirahat, dan PHK (PP PKWT-PHK). Salah satu peraturan pelaksana UU Cipta Kerja itu memperkuat fleksibilitas pasar tenaga kerja. Tahun 2020, pemerintah menerbitkan Permenaker No.6 Tahun 2020 tentang Pemagangan Dalam Negeri dan merevisi PP No.7 Tahun 2021 tentang Kemudahan Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Melalui 2 kebijakan itu buruh dituntut terus bekerja dengan upah yang minim di tengah meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait