MA Berharap Ada Standar Pemidanaan
Berita

MA Berharap Ada Standar Pemidanaan

Tidak bisa dibiarkan pada selera subjektif pembentuk Undang-Undang.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
MA Berharap Ada Standar Pemidanaan
Hukumonline

Mahkamah Agung (MA) berharap pembentuk Undang-Undang, dibantu para ahli hukum, merumuskan standar atau parameter pemidanaan. Banyak Undang-Undang sektoral yang mengatur sanksi pidana saling bertabrakan, ada disparitas pidana. Perbedaan sanksi pidana dalam Undang-Undang sektoral dengan KUH Pidana justru menyulitkan hakim dalam menjatuhkan putusan.

Harapan  agar pembentuk Undang-Undang membuat standar pemidanaan disampaikan Ketua Mahkamah Agung M. Hatta Ali dalam sambutan tertulis yang dibacakan hakim agung T. Gayus Lumbuun pada acara Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN) 2013 di Jakarta, Selasa (26/11). Dalam acara yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional (KHN) itu tampak sejumlah pakar dan akademisi seperti Prof. Romli Atmasasmita, Muzakkir, serta Ketua anggota dan Sekretaris KHN yang juga pakar pidana, Prof. J.E Sahetapy dan Prof. Mardjono Reksodiputro.

SPHN 2013 mengangkat tiga tema, salah satunya sinkronisasi pemidanaan dalam RUU KUHP dan Undang-Undang lainnya. Dua tema lain adalah penggunaan hukum adat dalam pidana nasional, dan kewenangan hakim pemeriksa pendahuluan.

MA melihat salah satu kelemahan Undang-Undang nasional adalah pengaturan sanksi yang tidak seragam untuk tindak pidana yang relatif sama. Sayang, UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga tidak mengamanatkan pembuatan parameter pemidanaan itu. Kepada hukumonline, Gayus mengatakan ketidakseragaman itu menyulitkan hakim ketika memutus perkara. “Tentu menyulitkan hakim, karena hakim itu harus menjadi penemu hukum,” ujarnya.

Dikatakan Gayus, substansi dan lamanya sanksi tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada selera subjektif pembentuk Undang-Undang. Dengan kata lain, tetap harus ada parameter atau standar yang jelas. Namun, Gayus menyadari upaya membuat standar itu tidak mudah karena proses pembentukan UU di DPR tidak satu pintu. Masing-masing komisi berhak mengajukan RUU bersama mitranya di instansi pemerintah.

Dua poin lain

Selain perlunya standar pemidanaan, MA menyoroti dua poin lain yang perlu dibahas dalam SPHN 2013. Pertama, prinsip pemidanaan. Pada prinsipnya, pemidanaan bersifat ultimum remedium, yang berarti pemidanaan sebagai upaya terakhir. Dengan prinsip ini, pemidanaan sebenarnya bisa diminimalisasi. Cuma, secara sosiologis, orang cenderung menganggap sanksi pidana sebagai unsur terdepan penyelesaian kasus. Kecenderungannya bergeser menjadi primum remedium, penghukuman didahulukan. Dikatakan Gayus, pembentuk UU perlu semakin memperhatikan penyelesaian kasus berdasarkan prinsip musyawarah, yang terwujud dalam bentuk restorative justice.

Poin kedua yang layah dibahas dalam SPHN 2013 adalah posisi hukum adat dalam hukum pidana nasional. MA menggarisbawahi bahwa putusan Mahkamah Konstitusi sudah membuka ruang pengakuan yang kuat terhadap masyarakat adat. Dari perspektif ini, adat dan mekanisme hukumnya akan semakin diakui. Hukum adat adalah subsistem hukum nasional. Apalagi sudah dimasukkan ke dalam RUU Desa. Beberapa Undang-Undang sektoral, seperti UU Kehutanan, juga mengakui. MA berharap ada harmonisasi dalam antarregulasi sektoral.

Tags: