‘Disparitas Putusan’ dan ‘Pemidanaan yang Tidak Proporsional’
Bahasa Hukum:

‘Disparitas Putusan’ dan ‘Pemidanaan yang Tidak Proporsional’

Dalam memperberat dan meringankan hukuman, harus ada dasar pertimbangan hakim yang jelas.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
‘Disparitas Putusan’ dan ‘Pemidanaan yang Tidak Proporsional’
Hukumonline

Disparitas putusan hakim pidana adalah masalah yang telah lama menjadi pusat perhatian kalangan akademisi, pemerhati dan praktisi hukum. Disparitas putusan dianggap sebagai isu yang mengganggu dalam sistem peradilan pidana terpadu, dan praktek disparitas tak hanya ditemukan di Indonesia. Ia bersifat universal dan ditemukan di banyak negara.

Disparitas putusan mungkin saja ikut berpengaruh pada cara pandang dan penilaian masyarakat terhadap peradilan. Ia dapat dilihat sebagai wujud ketidakadilan yang mengganggu. Tetapi apa sebenarnya disparitas putusan itu? Dalam bukunya Sentencing and Criminal Justice (2005: 72), Andrew  Ashworth mengatakan disparitas putusan tak bisa dilepaskan dari diskresi hakim menjatuhkan hukuman dalam suatu perkara pidana.

Di Indonesia, disparitas hukuman juga sering dihubungkan dengan independensi hakim. Model pemidanaan yang diatur dalam perundang-undangan (perumusan sanksi pidana maksimal) juga ikut memberi andil. Dalam menjatuhkan putusan, hakim tidak boleh diintervensi pihak manapun. UU No. 48 Tahun 2009tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim juga wajib mempertimbangkan sifat bak dan jahat pada diri terdakwa.

Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo (2003: 7) menyatakan disparitas putusan berkenaan dengan perbedaan penjatuhan pidana untuk kasus yang serupa atau setara keseriusannya, tanpa alasan atau pembenaran yang jelas.

Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas putusan. Tetapi pada akhirnya hakimlah yang paling menentukan terjadinya disparitas. Misalnya, ada dua orang yang melakukan tindakan pencurian dengan cara yang sama dan akibat yang hampir sama. Meskipun hakim sama-sama menggunakan pasal 362 KUHP, bisa jadi hukuman yang dijatuhkan berbeda.

Namun independensi hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana bukan tanpa batas. Eva Achjani Zulfa, dalam buku Pergeseran Paradigma Pemidanaan  (2011: 33), mengatakan ada asas nulla poena sine lege yang memberi batas kepada hakim untuk memutuskan sanksi pidana berdasarkan takaran yang sudah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Meskipun ada takaran, masalah disparitas akan tetap terjadi karena jarak antara sanksi pidana minimal dan maksimal dalam takaran itu terlampau besar.

Proses pembentukan peraturan perundang-undangan ikut berpengaruh karena ketiadaan standar merumuskan sanksi pidana. Disparitas putusan sejak awal ‘dimungkinkan’ karena aturan hukum yang disusun pemerintah dan DPR membuka ruang untuk itu.

Tags:

Berita Terkait