Masih Ada Kesalahan dalam Pembentukan Peraturan Delegasi
Berita

Masih Ada Kesalahan dalam Pembentukan Peraturan Delegasi

Setelah meneliti 473 Undang-Undang, dosen FHUI menemukan kesalahan teknis dan substansial peraturan delegasi. Tantangan buat pengajar ilmu perundang-undangan.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Suasana sidang promosi doktor Fitriani A. Sjarif di FHUI Depok, Sabtu (11/7). Foto: Facebook
Suasana sidang promosi doktor Fitriani A. Sjarif di FHUI Depok, Sabtu (11/7). Foto: Facebook
Jika rajin membaca Undang-Undang, Anda mungkin sering menemukan rumusan yang memerintahkan agar pengaturan lebh lanjut suatu hal diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden, bahkan mungkin Peraturan Menteri. Peraturan demikian dalam ilmu perundang-undangan lazim disebut peraturan delegasi, yakni jenis peraturan yang pembentukannya didelegasikan dari Undang-Undang.

Dari segi jenis, adakalanya bentuk peraturan yang didelegasikan adalah PP, dan ada pula dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen). Bahkan seiring pembentukan lembaga-lembaga baru pasca reformasi, lengkap dengan Undang-Undang payung hukumnya, ragam peraturan yang didelegasikan kian banyak. Jangan-jangan pembentuk Undang-Undang telah salah memahami hakikat peraturan delegasi selama ini.

Itulah yang akhirnya mendorong Fitriani Ahlan Sjarif melakukan penelitian terhadap Undang-Undang yang disahkan sepanjang periode 1999-2012. Ada 473 Undang-Undang yang terbit selama 14 tahun itu. Rupanya, tak semua Undang-Undang itu memuat perintah pembentukan peraturan delegasi. Hanya 261 Undang-Undang yang memerintahkan langsung pembentukan peraturan atau keputusan. Sisanya, 212 tak memerintahkan pembentukan apapun. Fitri, begitu dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu disapa, menemukan 3.254 rumusan perintah pembentukan peraturan.

Hasil kajian itu berhasil dipertahankan Fitri di hadapan sidang akademik promosi terbuka di Fakultas Hukum UI Depok, Sabtu (11/7). Ia meraih gelar doktor ilmu hukum dengan nilai sangat memuaskan. Ketua sidang, Topo Santoso, menjelaskan Fitri adalah doktor ke-220 lulusan Fakultas Hukum UI.

Berdasarkan penelitian Fitri terungkap jenis peraturan yang paling banyak menerima delegasi adalah PP. Ada 39 persen dari 473 Undang-Undang yang diteliti, memerintahkan pembentukan PP. Uniknya, perintah pembentukan Peraturan Menteri (Permen) justru lebih banyak dibandingkan perintah pembentukan Peraturan Presiden (Perpres).

“Fakta menunjukkan Peraturan Menteri lebih sering mendapatkan perintah delegasi langsung dari Undang-Undang dapat dianggap unik di Indonesia mengingat ciri khas tersebut merupakan ciri negara parlementer,” jelas Fitri di hadapan tim promotor dan penguji.

Pada hakikatnya, kewenangan pembentukan peraturan delegasi diberikan kepada Presiden sebagai pimpinan lembaga eksekutif. Namun dalam prakteknya, banyak lembaga atau komisi negara yang mendapat delegasi pembentukan peraturan komisi. Maka, di lapangan, dikenal antara lain Peraturan KPPU, Peraturan KPU, dan Peraturan Komisi Informasi Pusat. Bahkan pemerintah daerah mendapat delegasi membentuk jenis peraturan-peraturan khusus semacam Qanun, Perdasus, dan Perdasi.

Menurut Fitri, kesalahan pembentukan peraturan delegasi sepanjang periode 1999-2012 tak hanya pada jenis pembentukan yang tidak sesuai. Ada juga hal-hal teknis yang tidak tepat. Misalnya, Undang-Undang tidak menyebutkan jenis peraturan yang didelegasikan, rumusan norma yang tidak tepat, perintah satu materi perlimpahan kewenangan kepada beberapa peraturan, serta pemberian kewenangan delegasi blanko.

Kesalahan itu bisa terjadi antara lain karena kesalahpahaman para perancang peraturan, dan ketidakhati-hatian dalam proses pembentukan. Untuk itu, Fitri menyarankan agar UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan direvisi, dan kemudian memasukkan pedoman yang jelas menyusun peraturan delegasi dari Undang-Undang. “Pedoman sebaiknya dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengikat pelaku perancangan peraturan,” imbuh akademisi kelahiran 16 Maret 1975 itu.

Prof. Maria Farida Indrati, selaku promotor, mengatakan kajian ini penting mengingat dalam prakteknya perubahan Undang-Undang begitu dinamis. Undang-Undang Pilkada, misalnya, mengalami perubahan berkali-kali dalam waktu yang relatif sangat singkat. Dinamika pembentukan peraturan di lapangan belum tentu sejalan dengan teori yang diajarkan di kampus. Karena itu, pengajar ilmu perundang-undangan seperti Fitri, menghadapi tantangan riil terutama melihat dinamika pembentukan peraturan perundang-undangan.

Prof. Maria Farida mengenang gambaran gurunya, Prof. A. Hamid Attamimi, bahwa ilmu perundang-undangan itu adalah sebuah ‘rimba’. Dan melihat perkembangan di lapangan, kini dunia pembentukan perundang-undangan itu telah menjadi ‘rimba belantara’. Fitri, asisten Prof. Maria itu, telah memulai menapaki jalan 'rimba belantara' peraturan perundang-undangan.
Tags:

Berita Terkait