Masih Dunia yang Sama
Tajuk

Masih Dunia yang Sama

Thomas Friedmann, penulis tajuk the New York Times, dan pemenang hadiah Pullitzer tahun 2001 untuk commentaries menganalisa bahwa pusat kekuasaan dunia pasca perang dingin beralih ke tiga pusat kekuasaan utama: (i) Negara adidaya yang sekarang di monopoli oleh Amerika Serikat yang kini kesepian di kelompok ini, (ii) super market, yaitu pasar uang dan modal yang berpusat di Wall Street, Nasdaq, Tokyo, London, Hong Kong, dan Singapura, dan (iii) pribadi-pribadi yang mempunyai sumber daya luar biasa, baik uang, informasi, teknologi atau campuran dari unsur-unsur itu. Sebagian di antaranya, pribadi-pribadi yang marah terhadap kemapanan kekuasaan maupun bisnis tradisional, termasuk negara-negara kuat dan represif, para industrialis kaya, serta pemilik old money.

Oleh:
ATS
Bacaan 2 Menit
Masih Dunia yang Sama
Hukumonline

Amerika Serikat menentukan kapan dunia ini berperang atau berdamai, bukan Perserikatan Bangsa-bangsa, NATO, atau negara lain manapun. Super market pada tahun 1998 menjatuhkan kekuasaan Soeharto dengan mudah, dengan cara menghukumnya melalui pemerosotan nilai Rupiah serta penarikan modal asing dan porto polio dari pasar modal Indonesia. Individu seperti Osama bin Laden misalnya, telah memaksa Amerika Serikat mendeklarasikan perang melawan terorisme. Atau Saddam Husein sendiri bukan Irak, yang menggerakkan Amerika Serikat untuk menggalang perang baru di kawasan Timur Tengah.  

Di sisi lain, Friedmann juga menyangkal bahwa ekonomi dunia mengalami revolusi dengan ledakan teknologi internet. Buktinya, jelas dengan kejatuhan industri dot.com sejak 2 tahun belakangan ini di bursa-bursa dunia. Yang terjadi, masih menurut Friedmann, adalah suatu evolusi ekonomi dan bisnis. Karena yang tetap menjadi kuat dan mendikte ekonomi adalah mega perusahaan, seperti General Electric, Toyota, Ford, K-Mart dan sebagainya yang menggunakan  teknologi internet secara masif. Mereka lebih cepat dan efisien mencapai semua sumber daya yang mereka butuhkan dan dengan lebih cepat dan lebih luas mencapai pasarnya dengan melakukan e-commerce, e-government, e-law, e-training, e-management, dan sebagainya. Anak-anak dot.com tetap menjadi pemain pinggiran, tetap inovatif dan mencipta sistim dan efisiensi baru di dunia internet, tetapi yang berakhir untuk kepentingan mega perusahaan dan super market juga.

Sementara itu, kekuatan dunia jasa, baik profesi akuntan, advokat, penasehat keuangan, dan manajemen masih terpusat pada perusahaan-perusahaan pemberi jasa tradisional, seperti kantor akuntan 6 besar dunia, advokat, dan penasehat keuangan Wall Street dan London--yang tetap menjadi penasehat kalangan mega perusahaan dan super market--melenggang tanpa banyak persaingan.

Jadi dari kaca mata Indonesia dan negara sedang berkembang dan miskin lainnya, tidak ada suatu revolusi besar yang sedang terjadi, yang mampu menjadikan mereka mampu menjadi efisien, menjadi kuat dan besar, dan bersaing di pasar-pasar yang dikuasai oleh mega perusahaan dan super market. Meskipun terjadi skandal Enron, World.com dan sebagainya, dengan sistem hukum dan keuangannya yang kokoh dan matang, mereka cepat melakukan self-healing.  Perusahaan-perusahaan dibangkrutkan, petinggi-petinggi perusahaan yang bertanggung jawab masuk bui, para akuntan dan penasehat diperiksa habis, dan perusahaan-perusahaan mengubah struktur dan wajah mereka dalam bentuk mega merger dan akuisisi, yang memunculkan raksaksa industri dan pemberi jasa baru.

Di ujung belahan dunia lain, kita hanya bisa mencibir bahwa kampiun good corporate governance ternyata juga buruk rupa di bidang itu. Tetapi, cibiran apapun tidak menggoyahkan dominasi dari pusat-pusat kekuasaan itu. Kekuasaan dan bisnis berjalan biasa sebagaimana digambarkan oleh Friedmann.

Menarik sekali apa yang digambarkan dalam laporan  majalah Money terbitan Oktober 2002 mengenai siapa yang dianggap paling bertanggung jawab atas resesi ekonomi sekarang ini, terutama dari kaca mata pemodal Amerika. Saham mereka, menurut Money, atas kekacauan itu adalah sebagai berikut : petinggi korporasi (17%), para akuntan (12%), program opsi saham (16%), industri mutual fund (8%), politisi (10%), media masa (7%), Wall Street (14%), para pemodal individual sendiri (14%), dan jangan lupa Osama bin Laden (2%), dengan alasan-alasan untuk masing-masing pihak tersebut yang cukup masuk akal. Misalnya, petinggi-petinggi korporasi disalahkan karena perannya yang menyesatkan dalam skandal Enron, World.com, dan sebagainya. Belum lagi program kesejahteraan mereka yang luar biasa menggerogoti dompet perusahaan.

Jack Welch, CEO General Electric, misalnya, masih menerima AS$140 juta selama tahun 2000, dan AS$16 juta pada 2001, ditambah para pemegang saham (publik) menjamin Welch menerima AS$10 juta uang pensiun setahun untuk seluruh sisa masa hidupnya. Para akuntan misalnya, dituduh hanya jadi koki dari masakan yang sudah disiapkan oleh "orang-orang dalam" perusahaan, sehingga menghalalkan hitungan-hitungan di luar nurani tradisionalnya, seperti transaksi-transaksi off-balance sheets, perlakuan utang seperti aset, pendirian usaha di offshore tax haven, penyajian angka-angka proforma dan sebagainya.

Tags: