Mata Hati Bismar untuk Hukuman Mati
Mengenang Bismar:

Mata Hati Bismar untuk Hukuman Mati

Bismar seorang Pancasilais, dan tak menafikan pemberian maaf kepada pelaku kejahatan. Tapi hukuman mati bukan sesuatu yang haram dijatuhkan.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Artikel Hukuman Mati di Mata Hatiku termuat setidaknya di dua buku Bismar Siregar. Artikel ini bisa disebut sebagai ‘pembelaan’ hakim Bismar atas putusannya menjatuhkan pidana mati kepada seorang terdakwa. Gara-gara vonis mati itu, bukan hanya aksi demo penolakan yang terjadi, tetapi juga kecaman dari advokat dan pejuang hak asasi manusia Yap Thiam Hien. Bismar dikecam dan dianggap tidak menghargai hak hidup yang diberikan Tuhan kepada manusia.

“Biar Saudara Bismar dengan segala dalil juga alasannya tetap bertahan atas pendapat setuju hukuman mati saya tetap menentang, walau suara saya hilang percuma dan palu Saudara Bismar yang menentukan. Tetapi saat ini saya tegaskan, saya antipidana mati,” begitulah kata-kata Yap yang diingat Bismar, kemudian ia tuliskan dalam sebuah artikel mengenang Yap.

Nama Albert Togas adalah titik yang menghubungkan perbedaan pandangan Bismar dengan Yap Thiam Hien dan para pendukung gerakan anti-hukuman mati. Alkisah, saat bertugas sebagai hakim pada 1976, Bismar menjatuhkan pidana mati kepada Albert Togas karena terbukti melakukan pembunuhan berencana. Albert terbukti membunuh Nurdin Koto, secara keji memotong-motong mayat korban, memasukkan dalam plastik dan  membuangkan di kali di kawasan Tanjung Priok. Albert kesal karena diberhentikan bekerja dari Bogasari. Nurdin, staf ahli perusahaan itu, menjadi sasaran. Padahal terungkap di persidangan, Nurdin adalah orang yang banyak membantu hidup terdakwa. Laksana air susu dibalas air tuba.

Bismar menganggap perbuatan Albert itu sangat keji sehingga layak dijatuhi hukuman mati. Tapi, akibat putusan itu Bismar jadi sasaran demo. Sang hakim yang juga Ketua PN Jakarta Utara-Timur itu dianggap anti-Pancasila. Bismar bergeming. “Sebagai seorang yang selalu berusaha untuk Pancasilais, hemat saya biarkanlah, apapun pertimbangan yang dikemukakan dan bagaimana sikap mereka terhadap pidana tersebut,” tulis Bismar seperti dikutip dari Catatan Bijak Membela Kebenaran Menegakkan Keadilan.

Bismar memang punya argumentasi kuat untuk mempertahankan putusannya. Pertama, hukum positif Indonesia, KUH Pidana, masih mengakui jenis hukuman mati. Kedua, dalam menjatuhkan putusan seorang hakim harus merujuk pada Pancasila, khususnya Ketuhanan Yang Maha Esa seperti termuat dalam irah-irah putusan. Dalam konteks ini, Bismar mengutip beberapa ayat Alkitab yang memperbolehkan hukuman mati dijatuhkan. Penganut Kristen mengenal norma Kitab Keluaran 21:12, "Adapun barangsiapa yang memalukan orang, sampai mati, yaitu tak dapat tiada dibunuh juga hukumnya". Bagi orang Islam, kata Bismar, hukumnya jelas, karena Islam mengenal qishas (Al-Baqarah ayat 178).

Bismar juga mengatakan putusan pidana mati bukan bermaksud mendahului hak Tuhan mencabut nyawa manusia. “Bukan mendahului Tuhan, tidak. Sekadar menjunjung tinggi ajaran-Nya yang menghalalkan hukuman mati bagi pelanggar-pelanggar hukum tertentu,” tulisnya seperti dikutip dari Hukum dalam Sorotan Perspektif Islam.

Hidup memang hak asasi manusia (HAM). Tetapi bagi Bismar, HAM dalam pengertian orang Barat berbeda degan HAM sepanjang pemahaman Pancasila, terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam pemahaman Bismar, yang harus dikedepankan adalah kewajiban, bukan hak. Penekanan pada kewajiban itu adalah konsekuensi logis dari kedudukan manusia sebagai makhluk pemimpin dunia atau khalifah di bumi.
“Mengandalkan hak, keakuan yang ditonjolkan. Menonjolkan ‘ke-hak-an’," kata Bismar dalam Silaturahmi Tingkat Nasional ICMI 12 Juli 1998, seolah berarti hormati hakku baru kuhormati hakmu. Itu beda dengan pemahaman kupenuhi kewajibanku, dan ambillah hakmu tanpa perlu dituntut sekalipun.

Bismar sebenarnya adalah seorang hakim yang mengandalkan kearifan dan kebijakan dalam menjatuhkan putusan. Hakim yang selalu mengingat Tuhan setiap sebelum menjatuhkan putusan. Ia juga tipikal hakim yang ikut mengusung konsep permaafan bagi terdakwa (rechterlijke pardon). Tetapi jika perbuatan pelaku sudah sedemikian keji, sudah seperti layaknya perbuatan binatang, Bismar merasa hukuman mati layak dijatuhkan.

Ketiga, bagi Bismar, kematian bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti. Kematian adalah peristiwa yang sangat ditentukan bagaimana seseorang memanfaatkan waktu yang sangat singkat di alam fana ini. Argumen ini untuk menjawab dalil yang anti hukuman mati bahwa kepada terpidana masih bisa diberi kesempatan untuk memperbaiki diri atau bertobat atas kesalahannya.
“Bila ia percaya masih ada kehidupan yang langgeng, lestari dan abadi disebut alam baqa, ada sorga ada pula neraka, dia akan berupaya menjadikan kehidupan di dunia jembatan memasuki alam baqa. Jika seseorang menyadari filosofi ini, Bismar berharap, orang tersebut akan berbuat kebaikan."

Oki adalah nama lain yang menjadi pertautan isu hukuman mati dengan Bismar Siregar. Oki adalah seorang warga negara Indonesia yang saat itu terancam hukuman mati akibat dituduh membunuh tiga orang di Los Angeles Amerika Serikat: Suresh G Michandani, Gina Sutan Azwar, dan Eri Triharto Darmawan. Persidangannya berlangsung di PN Jakarta Pusat, sekitar dua puluh tahun setelah Bismar menjatuhkan vonis mati terhadap Albert Togas.

Bismar diminta pendapat mengenai kasus Oki dalam program Nuansa Pagi RCTI pada 1995. Dalam wawancara itu, Bismar meminta agar pers mengontrol diri dalam pemberitaan, jangan sampai pemberitaan menjadi beban batin Oki dan keluarganya. Beban batin seorang terdakwa, apalagi yang terancam hukuman pidana mati, amatlah berat.

Pada 27 Januari 1995, orang tua Oki mengirimkan surat kepada Bismar. Orang tuanya berterima kasih atas ungkapan keprihatinan Bismar atas musibah yang menimpa keluarga Oki. "Kami sekeluarga sudah merelakan dan menyerahkan pada pengadilan mengenai keterlibatan Oki dengan harapan bahwa semua itu adalah demi tegaknya keadilan”.

Bismar juga sengaja membuat tulisan mengenai Oki, Hukuman Mati Bagi Oki, yang menjadi bagian dari buku Catatan Bijak. Ia meminta Oki menggunakan kacamata iman menghadapi vonis hakim. Tak hanya itu, Bismar pernah bertemu dan berkomunikasi langsung dengan Oki di Lapas Cipinang. Bismar menjadi khatib shalat Jum’at di penjara itu, dan usai shalat Oki menitipkan sebuah buku kepada Bismar.

Nasihat Bismar kepada Oki. “Pesan kepada ananda Oki, sekali lagi jangan sesali apa yang terjadi. Mantapkan tekad dalam diri apapun akibat yang diterima, harus pula ikhlas memikulnya. Akankah pidana mati yang ditetapkan, percayalah, kematian bukan sesuatu yang ditakutkan, kematian hanya sekadar perantara dari hidup sementara di alam fana, memasuki alam baqa, menemui Khalik Maha Pencipta”.

Dan seorang Bismar pun tak akan lepas dari hukum alam itu. Pada 19 April 2012, ia menghembuskan nafas terakhir, menemui Khalik Maha Pencipta.
Tags:

Berita Terkait