Melawan Gerakan Melemahkan KPK
Tajuk

Melawan Gerakan Melemahkan KPK

Pernyataan SBY beberapa waktu lalu sungguh mengagetkan seperti petir di siang hari bolong. Bagaimana mungkin pemimpin yang mempunyai agenda besar anti korupsi dan dibesarkan oleh kesuksesan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di dalam mencegah dan memberantas korupsi selama lebih dari lima tahun terakhir bisa membuat pernyataan yang aneh dan tidak produktif seperti itu.

Bacaan 2 Menit

 

Pernyataan SBY ditindak-lanjuti oleh tindakan BPKP yang secara semborno ingin mengaudit sistem (compliance) penyadapan KPK. Ini tentu harus ditolak karena BPKP tidak mempunyai wewenang untuk mengaudit KPK. Penyadapan adalah kewenangan yang diberikan kepada KPK oleh Undang-undang. Jelas, langkah BPKP ini merupakan tindakan over-acting dari mereka yang punya kepentingan-kepentingan pribadi dan terkesan sebagai usaha penjilatan.

 

Pernyataan SBY dan tindakan pimpinan BPKP segera memancing banyak reaksi marah dari banyak pihak, termasuk dari pendukung SBY sendiri. Ditengah hantaman kampanye lawan-lawan politiknya, SBY membutuhkan dukungan lebih kuat dari mereka yang selama ini telah membantu dan membesarkannya, termasuk KPK dan mereka yang mendukung gerakan anti korupsi KPK. Makin efektif KPK, makin besar kesuksesan yang dipetik SBY.

 

Tetapi cobalah kita sedikit berkepala dingin dan coba menguraikan mengapa hal ini bisa terjadi. Menurut saya ada catatan penting yang perlu kita cermati. Pertama, SBY adalah manusia biasa yang juga punya banyak kelemahan seperti kita semua. Dihukumnya Aulia Pohan selama 4.5 tahun penjara untuk kasus tindak pidana korupsi yang dibawa oleh KPK ke Pengadilan Tipikor, lebih dari tuntutan 4 tahun penjara, mau tidak mau membawa kegundahan besar di kalangan keluarganya. SBY menyadari bahwa ini kasus korupsi, dan Pohan tidak bisa dilepaskan dari proses hukum. Kebesaran hati SBY pada awal proses pidana korupsi ini melegakan banyak orang, dan memberi SBY kenaikan peringkat elektibilitas dan kepopulerannya di beberapa polling politik. Tetapi ketika Pohan dihukum dengan hukuman yang cukup berat, sebagai manusia biasa SBY dan keluarganya mungkin merasa bahwa sebagai kepala negara SBY direndahkan oleh KPK. Kedua, ketika kasus AA merebak, seakan terbuka adanya kemungkinan retaliasi terhadap gerakan anti korupsi. Dengan atau tanpa perintah SBY, kepolisian menangkap dan menyidik AA. Memang ini wajar, bahwa suatu dugaan pidana berat diusut dan ditangani dengan cepat, apalagi menyangkut ketua salah satu komisi negara terhormat. Dari pemeriksaan perkara itu terungkap bahwa ada penyadapan yang dilakukan oleh KPK terhadap 2 nomor telepon yang tidak diketahui milik siapa. Perintah diberikan kepada petugas KPK yang memang berwenang melakukan penyadapan, dan semua proses penyadapan dilakukan sesuai dengan ketentuan UU dan prosedur internal KPK. Penyadapan inilah yang kemudian dipersoalkan oleh pihak kepolisian, seakan ini merupakan penyadapan yang tidak sah karena dikatakan tidak terkait dengan kasus korupsi.

 

Alhasil, wakil ketua KPK, Chandra Hamzah, diperiksa oleh pihak Kepolisian, dan tercium adanya usaha untuk menjadikannya sebagai tersangka dalam kasus AA yang terkait dengan penyadapan yang melanggar hukum. Di kalangan media, beredar desas desus bahwa dua orang pimpinan KPK lainnya juga akan diusut karena melakukan tindak pidana korupsi. Bila ketiga pimpinan KPK lainnya dijadikan tersangka, dan itu bisa saja dilakukan dengan bukti permulaan yang minim (desas-desus, atau laporan masyarakat misalnya) atau hanya didasarkan informasi buatan, maka KPK otomatis akan lumpuh, karena KPK tidak bisa dijalankan hanya dengan satu orang wakil ketua.  Tindakan dan gerakan tersebut jelas absurd, tidak masuk akal, dan berbahaya bagi kepentingan gerakan anti korupsi, dan bahkan membahayakan SBY sendiri.

 

Bahwa KPK tidak disukai oleh penegak hukum lainnya sudah merupakan fakta yang umum diketahui. KPK didirikan dengan satu alasan khusus, karena ketidakmampuan penegak-penegak hukum lainnya tersebut di dalam mencegah dan memberantas korupsi selama beberapa dasa warsa terakhir. Dilemahkan dan dilumpuhkannya KPK menyebabkan pencegahan dan pemberantasan korupsi juga mandeg. Inilah mungkin yang diinginkan oleh para koruptor dan sejumlah orang di pemerintahan, parlemen, dunia usaha dan mereka yang menerima manfaat dari sistem pemerintahan yang korup. Konspirasi corruptors fight back karenanya terbukti bukan cuma rekaan saja, tetapi merupakan kenyataan yang menakutkan.

 

Seandainya SBY adalah negarawan yang berhati besar dan melihat kepentingan terbesar bangsa, ia seharusnya bisa melakukan hal-hal berikut: (a) menerima dengan besar hati dan lapang dada keputusan atas Aulia Pohan sebagai bagian dari program pemberantasan korupsi yang di endors olehnya sendiri, (b) memanggil Kepala POLRI untuk meneruskan penyidikan dan penuntutan perkara AA dengan fokus sebagai suatu tindakan pribadi yang tidak ada hubungannya dengan KPK sesuai dengan bukti-bukti yang terungkap, (c) berdialog dengan pimpinan KPK dan menyatakan dukungan tanpa syarat kepada KPK untuk menjalankan misi dan tugasnya, (d) mencopot atau menghukum dengan keras Ketua BPKP yang sudah nyelonong tanpa ijin dan tanpa perintah ingin memeriksa KPK, dan (e) mendesak parlemen menyetujui RUU Pengadilan Tipikor dengan fokus pada kewenangan lebih besar kepada hakim ad hoc, atau mnerbitkna Perppu dengan isi yang sama.

 

Seandainya KPK dilemahkan, atau dibiarkan dijadikan lemah dan tidak berfungsi, maka kita tahu bahwa ada pelanggaran konstitusi disini. Pemerintahan yang bersih adalah amanat konstitusi, dan pelemahan atau dijadikannya KPK tidak berfungsi langsung atau tidak langsung merupakan pelanggaran konstitusi. Rakyat akan mencatat. Hari pemilihan sudah dekat, hari dukung mendukung secara politik sudah diambang pintu. Banyak orang tidak perduli siapa yang akan berkuasa sebagai hasil pemilu ini karena muak pada jualan omong kosong para kandidat. Tetapi pemilu tetap penting, karena inilah salah satu ukuran demokrasi. KPK dan gerakan anti korupsi juga sangat penting, karena ia salah satu tonggak sistim integritas nasional yang menunjang demokrasi. Kita tidak mau pemimpin yang bermasalah dengan masa lalu khususnya yang terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia. Kita tidak ingin pemimpin yang lemah.

Halaman Selanjutnya:
Tags: