Melihat Status Kudeta Militer dalam Perspektif Hukum Internasional
Utama

Melihat Status Kudeta Militer dalam Perspektif Hukum Internasional

Hukum internasional tidak mengatur jelas aksi kudeta militer. Piagam PBB hanya mengatur prinsip kesetaraan dan nonintervensi dimana semua negara berada dalam posisi yang sama dan tidak boleh campur tangan urusan negara lain. Tapi, komunitas internasional bisa melakukan intervensi untuk aksi kemanusiaan di Myanmar.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Kudeta yang dilakukan militer Myanmar terhadap pemerintahan sipil yang dipimpin Aung San Suu Kyi mendapat kecaman dari masyarakat internasional, seperti Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), Uni Eropa, hingga Amerika Serikat. Aksi ini dinilai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) atau kejahatan kemanusiaan. PBB pun menuntut agar militer Myanmar memulihkan pemerintahan sipil dan membebaskan pemimpin negara, Aung San Suu Kyi.

Mengutip sejumlah sumber, hingga 25 Maret 2021, menurut data aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) dan media lokal, aksis kudeta ini menelan korban tewas lebih dari 300-an orang. Dengan dalih pemilu curang, kelompok militer yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing merebut pemerintahan Aun San Suu Kyi secara paksa.

Padahal, hasil Pemilu Myanmar pada November 2020 lalu memenangkan partai yang dipimpin Aung San Suu Kyi, partai Liga Nasional (NLD), dengan meraih kursi mayoritas di Parlemen. Komisi pemilihan mengkonfirmasi kemenangan itu telah digantikan oleh junta militer. Sejak 1 Februari 2021, militer Myanmar mengumumkan keadaan darurat, menahan sejumlah tokoh politik prodemokrasi termasuk Aung San Suu Kyi dan Presiden Myanmar Win Myint.

Lalu, bagaimana status kudeta militer dalam perspekstif hukum internasional? Apakah melanggar hukum atau tidak?

Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri RI, HE Abdul Kadir Jailani menerangkan sejak perang dingin (1947-1991) hukum internasional tidak bersikap tegas terhadap aksi kudeta karena ketika itu kudeta kerap terjadi di berbagai negara dengan dukungan masing-masing blok baik barat maupun blok timur. Kedua blok itu menganggap dirinya sebagai kekuatan demokratik.

Tapi setelah perang dingin berakhir ada pergeseran hukum internasional, ada pandangan yang menilai legitimasi terhadap suatu pemerintahan itu, antara lain harus memenuhi prinsip demokrasi (melalui pemilu, red). Tapi, dalam praktiknya Dewan Keamanan (DK) PBB tidak jelas mengatur apakah kudeta itu sebagai bentuk pelanggaran hukum internasional atau tidak. DK PBB tidak melihat legalitas dari kudeta, tapi menilai apakah kudeta itu berdampak atau tidak terhadap keamanan dan perdamaian dunia internasional.

“Dalam banyak peristiwa kudeta, DK PBB tidak melakukan apa-apa. Beginilah ketidakpastian hukum internasional dalam melihat (status hukum, red) aksi kudeta,” kata Abdul dalam diskusi secara daring bertajuk “Coup d’etat Myanmar dari Aspek Hukum dan Hubungan Internasional” yang digelar Indonesian Society of International Law Lecturers (ISILL), Selasa (30/3/2021).

Tags:

Berita Terkait