Memanggil Pemimpin
Tajuk

Memanggil Pemimpin

Presiden diharapkan mampu menjadi pemimpin yang berdiri paling depan, membawa bangsa Indonesia selamat dari badai gelap, menuju masa depan yang lebih cerah.

Oleh:
RED
Bacaan 8 Menit

Dalam banyak survei, dan dalam banyak interaksi dengan para investor asing, masalah perizinan, konsistensi regulasi, korupsi dan integritas penyelesaian sengketa menjadi sandungan bagi mereka untuk memilih Indonesia sebagai tempat investasi. Dalam pikiran para pembuat Undang-Undang Cipta Kerja, mungkin tiga soal besar pertama itu yang menjadi dasar filosofi undang-undang ini. Masalah integritas penyelesaian sengketa belum mendapat prioritas, karena selalu ada kekhawatiran (yang tidak perlu) dari pemerintah dan parlemen bahwa mereformasi sistem peradilan seperti merupakan intervensi ke bidang judisial. Presiden juga harus ada di depan untuk memimpin proses ini. Yang harus diingat adalah bagaimana kebijakan tersebut dibuat dengan taat prosedur. 

Prosedur pembuatan peraturan perundangan diciptakan untuk menjamin semua persyaratan minimal dipenuhi. Tinjauan akademis, dampak kebijakan, masukan pihak yang terdampak, tujuan yang akan dicapai, manfaatnya buat negara dan masyarakat luas, transparansi dalam proses pembuatan kebijakan, keterlibatan publik, itu semua sudah menjadi proses yang baku dan menjadi ketentuan undang-undang. Kebijakan legislasi yang melalaikan prosedur ini sudah pasti akan kehilangan legitimasinya. Masih ada jalan keluar untuk memperbaikinya (Lihat: Undang-undang Sikat Saja) dan pengalaman ini harus dijadikan pegangan dalam melakukan proses legislasi di masa depan.  

Hal lain yang dirasakan dan tidak selalu dapat dibuktikan, adalah kecenderungan digunakannya pendekatan kekuasaan dalam menanggapi kritik. Pembungkaman kritik dengan kriminalisasi, kekerasan terhadap pendemo, dan tuduhan dan framing negatif di media sosial terhadap para pengkritik merupakan kemunduran besar dalam demokrasi kita. Demokrasi kita tumbuh karena kritik yang sehat. Kalau kita tanyakan patriotisme dari para pengkritik itu, mereka akan menjawab bahwa merah putih ada di dadanya, dan NKRI adalah harga mati, dan yang mereka lakukan adalah tanggung jawab mereka untuk ikut merawat Indonesia. 

Presiden perlu memerintahkan para pembantunya, terutama para penegak hukum, untuk mulai menggunakan pendekatan yang lebih bermartabat dalam melakukan dialog dengan para pengkritik. Pengkritik yang menginginkan perbaikan kebijakan publik harus dibedakan dengan pemberontak yang ingin memisahkan Indonesia atau gerakan radikal yang ingin merusak keberagamanan Indonesia, dan petualang politik yang ingin memanfaatkan segala kericuhan untuk mendongkrak posisi politik mereka. Pembantu Presiden yang baik bisa melihat itu tanpa suryakanta. 

Di tengah pandemi, resesi dan mundurnya demokrasi kita itu, Presiden masih diharapkan mau dan mampu untuk menjadi pemimpin yang berdiri paling depan, membawa bangsa Indonesia selamat dari badai gelap, menuju masa depan yang lebih cerah.

Ats - Sentul, 15 November 2020

Tags:

Berita Terkait