Membuka Kembali Verbintennissenrecht Warisan Kolonial
Konferensi APHK ke-5:

Membuka Kembali Verbintennissenrecht Warisan Kolonial

Konferensi Nasional Hukum Perdata sudah merekomendasikan penyusunan Naskah Akademik RUU Hukum Perikatan.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi perjanjian. APHK mengusung RUU tentang Perikatan. Ilustrator: HGW
Ilustrasi perjanjian. APHK mengusung RUU tentang Perikatan. Ilustrator: HGW

Dua pekan sudah berlalu sejak penyelenggaraan Konferensi Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan ke-5 di Jakarta. Pusat perhatian peserta Konferensi adalah hukum perikatan atau hukum perjanjian yang ada dalam Burgerlijk Wetboek, lazim dikenalKitab Undang-Undang Hukum Perdata. Secara khusus, perhatian terfokus pada buku ketiga yang umumnya disebut verbintennissenrecht alias hukum perjanjian.

Perjalanan Hukum Perjanjian dalam BW tak bisa dilepaskan dari sejarah pemberlakuan kitab itu kepada penduduk Indonesia. Awalnya diberlakukan beberapa bagian hukum perdata yang berlaku di Belanda kepada penduduk Hindia Belanda, misalnya perjanjian kerja dan perburuhan (Staatblad 1879 No. 256), disusul ketentuan utang piutang dari perjudian (Pasal 1788-1791 BW), dan ketentuan lain.

Siapa sangka, ratusan tahun berlalu BW masih berlaku dalam versi terjemahannya di dalam sistem hukum Indonesia setelah 73 tahun merdeka. Tahun 2018 ini tepat 170 tahun sejak berlakunya BW pada Januari 1848. Apakah BW memang demikian mumpuni dalam memenuhi kebutuhan masyarakat hukum Indonesia? Faktanya, sebagian besar isi BW sudah ‘terpinggirkan’ oleh Undang-Undang khusus yang lahir setelah Indonesia merdeka. Masalah perkawinan, misalnya, sudah ada UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan; mengenai orang dan penduduk sudah ada UU Administrasi Kependudukan dan UU Kewarganegaraan. Hubungan industrial juga sudah berkembang dan sudah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Relatif, tinggal hukum perjanjian yang masih bertahan hingga kini.

(Baca juga: Urgensi UU Perikatan Bergema dalam Konferensi Pengajar Hukum Keperdataan).

Konferensi Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan sudah sejak lama mengusung pentingnya RUU Perikatan tersendiri. Gagasan ini mendapat apresiasi dari Pemerintah, setidaknya terlihat dari ‘sinyal’ yang disampaikan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Widodo Ekatjahjana.

“Pembangunan hukum nasional kita berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, disebutkan ada empat bidang,” kata Dirjen PP Widodo Ekatjahjana mengawali penjelasannya saat membuka Konferesi akhir Oktober lalu. Pertama, penataan kelembagaan hukum; kedua, penataan substansi hukum; ketiga, penataan kesadaran dan budaya hukum; dan keempat, penataan sarana dan prasarana hukum.

Widodo menjelaskan Pemerintah melakukan banyak hal untuk mengganti hukum warisan kolonial adalah salah satu bagian dari penataan substansi hukum. Pembangunan  materi hukum nasional dilakukan untuk menghasilkan produk hukum yang mencerminkan nilai-nilai sosial dan kepentingan masyarakat Indonesia. Tentunya dalam rangka menjamin terciptanya kepastian hukum.

Meskipun demikian, persoalan yang dihadapi para penggagas adalah skala prioritas pemerintah dan DPR dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Kepada hukumonline, Widodo mengakui belum ada rencana Pemerintah mengajukan revisi BW secara keseluruhan. Ia justru meminta para akdemisi pengajar hukum perdata menyiapkan dan menyerahkan Naskah Akademik RUU Perikatan biar ada bahan dasar bagi Pemerintah dan anggota Parlemen. “Forum ini harus bisa mengeksplorasi sehingga bisa mengidentifikasi kebutuhan hukum yang memang mendesak,” katanya.

Tags:

Berita Terkait