Memperdebatkan Keberadaan Hakim Ad hoc
RUU Pengadilan Niaga

Memperdebatkan Keberadaan Hakim Ad hoc

Dalam UU Pengadilan Niaga akan diatur mengenai Hakim Pengadilan Niaga yang terdiri dari Hakim Karier dan Hakim Ad hoc. Kewenangan Peradilan Niaga pun akan diperluas. Namun beberapa kalangan menilai keberadaan Hakim Ad hoc sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan, bukan bedasarkan intervensi dari satu pihak.

CR-2
Bacaan 2 Menit

 

Sementara Hakim Agung Mohammad Saleh mengatakan, sejak tahun 2002 Hakim Ad hoc tidak pernah aktif. Memang, Hakim Ad hoc terkadang digunakan di MA. Tapi dalam UU MA yang baru hanya dikenal Hakim Karier dan Hakim Non Karier, tidak menyebut Hakim Ad hoc. Oleh karena itu Saleh mengusulkan agar Hakim Ad hoc hanya ada di tingkat pertama.

 

Sedangkan Elijana Tansah dari Kantor Advokat Gani Djemat & Partners berpendapat lain. Sebenarnya, yang menjadi kajian adalah apakah adanya Hakim Ad hoc akan merubah putusan. Itu tidak mungkin, kata Elijana. Soalnya, di Pengadilan Niaga posisi Hakim Ad hoc hanya sebagai anggota. Dia berpendapat, UU Kepailitan mengatur bila ada hakim yang berbeda pendapat maka dissenting opinion tersebut akan tertuang di dalam putusan.

 

Adanya dissenting opinion akan membuat semua pihak, termasuk Hakim Agung (bila perkara berlanjut sampai tingkat Kasasi atau PK) menyadari bahwa ada pendapat lain dalam sebuah putusan. Artinya, pihak yang membaca dissenting opinion akan membaca kembali pertimbangan-pertimbangan hukum dan mengambil undang-undang atau literatur yang mendasari keluarnya putusan tersebut. Jadi sebetulnya itu hanya memberi umpan supaya Hakim Agung menyadari bahwa ada pendapat lain dalam sebuah putusan, jelasnya. Elijana juga mengatakan bahwa tidak mungkin di jaman sekarang, seorang hakim dituntut untuk menguasai semua permasalahan hukum.

 

Intervensi

Soeharto mengakui sejak tahun 2002 hingga sekarang belum ada yang namanya Hakim Ad hoc, apalagi di Mahkamah Agung (MA). Namun, kata Soeharto, tidak semua hakim dapat menguasai berbagai bidang. Dahulu saja, lanjut Soeharto, Hakim Ad hoc muncul karena adanya kendala dalam menghitung jumlah nilai gugatan yang mencapai ratusan miliar hingga triliunan. Bahkan saat itu International Monetery Fund (IMF) meminta agar Hakim Ad hoc diadakan supaya hitung-hitungan dalam nilai gugatan bisa lebih fair, katanya. 

 

Syamsul menimpali pernyataan Soeharto tersebut. Menurutnya, bukan hal tabu bila UU di negara ini muncul karena adanya tekanan dari pihak asing. Saya tidak setuju akan hal itu, tegasnya. Dia menyarankan agar penyusunan sistem pembuatan UU disamakan dengan kebutuhan semata, bukan karena adanya tekanan dari IMF.

 

Bila Hakim Ad hoc itu harus ada atas permintaan satu pihak, maka perlu dipertanyakan apa dasarnya kita memaksa pihak lain untuk menerima keberadaan Hakim Ad hoc, kata Syamsul. Dia mengkhawatirkan, bila ada satu pihak yang tidak setuju dengan adanya Hakim Ad hoc maka hal itu akan menimbulkan ketidakobjektifan. Maka dari itu sebaiknya mejelis hakim yang menentukan apakah Hakim Ad hoc diperlukan. Bukankah akan lebih fair bila Hakim Ad hoc ada atas permintan dari majelis, usulnya.

 

Ralat:

 

Ada kekeliruan pada Paragraf 2, tertulis:

 

Hal itu disampaikan Soeharto dari  United States Agency for International Development (USAID), salah satu LSM asal negeri paman Sam yang saat ini tengah menggodok Rancangan Undang-undang Pengadilan Niaga (RUU Pengadilan Niaga) untuk dijadikan Undang-undang.

 

Yang benar adalah:

 

Hal itu disampaikan Soeharto SH, mantan hakim agung yang menjadi ketua tim khusus penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Niaga. Tim yang mendapat dukungan asistensi dari proyek In-ACCE United States Agency for International Development (USAID) ini diisi oleh sejumlah ahli kepailitan.

 

 

@Redaksi

 

Tags: