Mempertanyakan Nasib RUU Migas yang Mandeg di DPR
Berita

Mempertanyakan Nasib RUU Migas yang Mandeg di DPR

Keseriusan DPR membahas RUU Migas dipertanyakan. Tarik menarik kepentingan diduga jadi latar belakang terus tertundanya pembahasan RUU ini.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

Dia meminta RUU ini perlu segera diselesaikan karena saat ini terjadi kekosongan payung hukum usai Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan sejumlah ketentuan dalam UU Migas. Selain itu, ancaman krisis energi akibat turunnya produksi dan tidak adanya penemuan cadangan baru juga menjadi alasan perlunya DPR segera menyelesaikan RUU ini.

 

Tak hanya itu, saat ini industri migas nasional juga harus berhadapan dengan gejolak harga minyak dunia yang mengganggu biaya produksi. Terlebih lagi, menurut Ary, industri migas, khususnya sektor hulu kerap diindikasikan adanya praktik mafia migas dan inefesiensi biaya operasional.

 

Sebagai solusi menggantungnya RUU Migas, Ary meminta kepada DPR untuk terbuka dan melibatkan publik dalam proses pembahasannya untuk menghindari adanya kepentingan-kepentingan sesaat. Dia juga meminta pemerintah aktif bersama-sama menyelesaikan RUU ini.

 

Sebelumnya, PWYP Indonesia juga telah menyusun Draf RUU Migas versi Masyarakat Sipil. Terdapat sebelas isu kunci yang menjadi fokus dalam draf tersebut yaitu  perencanaan pengelolaan migas; model kelembagaan hulu migas; badan pengawas, BUMN Pengelola; Petroleum Fund; Domestic Marker Obligation (DMO); Dana Cadangan; Cost Recovery; Participating Interest (PI); Perlindungan atas Dampak Kegiatan Migas; serta Reformasi Sistem Informasi dan Partisipasi.

 

Masih mandeg

Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Satya Widya Yudha membenarkan bahwa hingga saat ini pembahasan revisi tersebut masih terhambat di DPR. Dia mengatakan draf RUU tersebut telah diserahkan kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR sejak 2017 silam. “Pembahasan RUU migas yang jelas masih mandeg, kami (Komisi VII) telah menyerahkan kepada Baleg sudah lama sudah setahun lalu sekitar 15 bulanan,” kata Satya saat dihubungi Hukumonline, Senin (9/7/2018). 

 

Meski demikian, Satya mengakui RUU tersebut mendesak untuk segera dibahas dan disahkan karena terdapat sejumlah ketentuan dalam UU Migas sebelumnya tidak berlaku lagi setelah keluar putusan MK No. 002/2003 yang membatalkan sejumlah pasal UU Migas dan putusan MK Nomor 36 Tahun 2012 yang membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas). Baca Juga: Keputusan Strategis Terkendala Alotnya Pembahasan RUU Migas

 

“Saat ini industri migas diatur hanya berdasarkan peraturan menteri. Padahal, terdapat beberapa pasal dalam UU Migas invalid karena dibatalkan MK, contohnya seperti bentuk tipe kontrak dan pembubaran BP Migas,” jelasnya.

Tags:

Berita Terkait