Menawarkan Gagasan tentang Hukum Otentik
Resensi:

Menawarkan Gagasan tentang Hukum Otentik

Benarkah negara gagal melindungi eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat yang asli? Kajian tentang nagari di Sumatera Barat ini penting dibaca para pengambil keputusan.

Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi buku dan gambar: HGW
Ilustrasi buku dan gambar: HGW

Amanat konstitusi itu jelas. “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang”. Tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat tak dapat dilepaskan dari diskursus historis dan kenyataan sosiologis masyarakat Indonesia.

Sudah lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, persoalan pengakuan dan penghormatan kesatuan masyarakat hukum adat belum juga selesai. Konflik warga yang mengklaim sebagai masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan masih sering terjadi. Padahal, di atas kertas, pengakuan, penghormatan, bahkan perlindungan masyarakat adat jelas tertulis. Bukalah, misalnya, dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2020-2024. Di sana, tergambar bagaimana komitmen pemerintah: penguatan lembaga adat dan kampung adat, perlindungan hak-hak masyarakat adat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk hak atas tanah adat/ulayat. Rencana ini memang spesifik mengenai pengembangan Papua, tetapi dalam banyak kesempatan komitmen terhadap eksistensi masyarakat hukum adat sering diungkapkan. Gagasan masyarakat sipil justru mendorong RUU Masyarakat Hukum Adat.

Dalam konsiderans RUU ini jelas tersurat pengakuan bahwa kenyataannya hak masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional belum sepenuhnya terlindungi yang mengabikatkan keberadaannya terpinggirkan. Konflik sosial dan konflik agrarian di wilayah adat adalah wujud nyata kegagalan negara memberikan perlindungan.

Wendra Yunaldi, seorang akademisi sekaligus praktisi, membawa kepada pembaca sebuah kajian menarik tentang kesatuan masyarakat adat. Konsep ‘nagari’ di Sumatera Barat menjadi fokus kajiannya, sebagaimana dapat dibaca dalam buku ‘Nagari & Negara, Perspektif Otentik Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Ketatanegaraan Indonesia’. Dalam buku ini, nagari dipandang sebagai kesatuan masyarakat hukum adat (KMHA). Nagari adalah merupakan bentuk kesatuan hukum adat yang bercirikan norma-norma yang hidup dan dipraktikkan oleh masyarakat setempat yang muncul berdasarkan pada adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Nagari bersifat genealogis dan territorial yang memiliki peraturan tersendiri (hal. 20), yang umumnya merujuk pada masyarakat hukum adat di Sumatera Barat.

Wendra bukan orang pertama yang tertarik pada nagari di Sumatera Barat. Bagi mereka yang melakukan studi ilmu hukum, mungkin sudah terbiasa dengan nama seperti van Vollenhoven, ter Haar, Korn, dan Soepomo, sebagai orang yang menyinggung konsep nagari. Demikian pula tokoh nasional asal Sumatera pada awal kemerdekaan seperti Hatta dan Yamin. Tetapi tulisan Wendra memberikan pembaca pemahaman dan perspektif yang lebih komprehensif tentang eksistensi nagari dalam wilayah kesatuan bernama ‘negara’. Lebih komprehensif karena membahas perkembangan KMHA sejak Indonesia merdeka hingga lahirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan UU No. 23 Tahun 2014 mengenai pemerintahan daerah.

Tentu saja, dari sudut pandang akademik, ada kelebihan dan kekurangan dari masing-masing regulasi yang pernah diterbitkan. Penulis menggunakan struktur hukum ala Lawrence M. Friedman untuk melihat kelemahan pengaturan nagari: kelemahan segi substansi, struktur, dan budaya hukum (hal. 207-215).

Hukumonline.com

Dalam konteks itulah, penulis berhasil memotret atau memetakan ragam regulasi berkaitan dengan nagari. Pertama, regulasi desa dan nagari asli yang sesuai dengan kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat hukum adat nagari tidak diganggu dalam menjalankan hak-hak asli mereka dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan adat istiadat. Model ini dikenal pada mada Hindia Belanda dan Jepang.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait