Mendorong DPR dan Pemerintah Tempuh Jalur Legislative Review
Berita

Mendorong DPR dan Pemerintah Tempuh Jalur Legislative Review

Pilihan legislative review dinilai langkah moderat sekaligus koreksi atas pengambilan keputusan persetujuan UU Cipta Kerja yang dianggap cacat hukum dan menempatkan rakyat dalam posisi terhormat.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Pasal 23 ayat (2) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan:

“Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup:  

a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan

b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

“Jadi secara teknis, UU Cipta Kerja ini diundangkan terlebih dahulu, setelah itu langsung diajukan draf perubahan UU Cipta Kerja di DPR. Nah, perubahan UU Cipta Kerja ini harus melibatkan sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan,” katanya.

Bukan judicial review

Sebelumnya, Direktur Sinergi masyarakat untuk demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin menilai yang dituntut buruh, mahasiswa, dan elemen masyakat lain itu yaitu legislative review atau executive review, bukan judicial reviewDia melihat tidak sepantasnya pemerintah melempar soal UU Omnibus Law ini kepada lembaga negara yang lain. Dengan cara seperti itu, pemerintah seolah menjadikan MK sebagai “keranjang sampah”.

Seolah konstitusionalitas undang-undang dianggap hanya urusan MK, sementara DPR dan pemerintah bisa bebas menyimpangi hak konstitusional warga negara dalam membuat UU. “Proses judicial review di MK bukan satu-satunya cara untuk mengubah atau membatalkan UU, tapi juga bisa lewat legislative review atau executive review,” kata Said Salahudin dalam keterangannya, Sabtu (10/10/2020) kemarin.     

Menurutnya, dalam membentuk UU DPR dan Presiden harus tetap memperhatikan ketentuan UUD 1945 dan aspirasi rakyat. Nah, apa yang dituntut oleh buruh, mahasiswa, dan elemen masyakat lain pada aksi demonstrasi besar-besaran kemarin itu jelas: mereka meminta DPR dan Presiden sendiri yang membatalkan UU Cipta Kerja, bukan MK. “Jangan gurui mereka untuk melakukan pengujian undang-undang. Para pendemo itu bukan orang bodoh yang tidak mengerti prosedur pengujian undang-undang di MK,” kata Said.   

Baginya, mereka turun ke jalan dalam rangka menuntut keinsafan (kesadaran) DPR dan Presiden agar membatalkan sendiri UU Cipta Kerja yang merugikan rakyat banyak itu. “Soal MK itu urusan yang lain lagi. Tidak ada korelasinya dengan aksi mogok nasional para buruh dan unjuk rasa masyarakat luas.”

Dia mengingatkan apa yang dituntut oleh para demonstran itu dalam teori hukum tata negara disebut dengan legislative review atau pengujian produk legislasi oleh lembaga legislatif sendiri. Dalam hal ini, DPR selaku legislator dan Presiden sebagai co-legislator. Jadi, UU Cipta Kerja diminta untuk dibatalkan sendiri oleh DPR dan Presiden sebagai lembaga yang membuat undang-undang tersebut. 

Ada pula tuntutan dari para pengunjuk rasa agar Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) supaya UU Cipta Kerja bisa dibatalkan dalam waktu yang lebih cepat. Aspirasi rakyat itu disebut dengan proses executive review atau peninjauan kembali perangkat hukum oleh badan pemerintah. Dan Presiden punya kewenangan itu.

“Jadi, sangat jelas yang dituntut oleh masyarakat kepada DPR dan Presiden adalah proses legislative review atau executive review, bukan judicial review atau pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait