Menekankan Pentingnya Perlindungan Hak Cipta Musik dan Lagu di Era Digital
Terbaru

Menekankan Pentingnya Perlindungan Hak Cipta Musik dan Lagu di Era Digital

Teknologi digital telah mengaburkan batas antara berbagai kategori karya berhak cipta dan sarana komunikasi kepada publik. UU Hak Cipta perlu direvisi dan memasukkan pasal-pasal yang mengatur perlindungan hak cipta di era digital terutama terkait digital book dan penarikan royalti musik yang diputar di aplikasi musik streaming.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Advokat H. Hermansyah Dulaimi saat menjalani sidang doktor di Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, Kamis (2/9/2021). Foto: Hol
Advokat H. Hermansyah Dulaimi saat menjalani sidang doktor di Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, Kamis (2/9/2021). Foto: Hol

Perkembangan teknologi yang pesat mendorong hampir semua sektor menuju era digitalisasi. Digitalisasi juga merambah Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di bidang musik dan lagu. Perlindungan HKI di bidang musik dan lagu ini menjadi sorotan Advokat yang juga menjabat sebagai Sekjen Peradi pimpinan Otto Hasibuan, H. Hermansyah Dulaimi.

Hermansyah mengupas secara tuntas topik tersebut melalui desertasinya berjudul “Kebijakan Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Bidang Hak Cipta tentang Musik dan Lagu Dalam Era Digital di Indonesia” dalam sidang doktor di Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana Jakarta.  

Hermansyah menjelaskan secara umum pengertian perlindungan terhadap HKI pada dasarnya merupakan pemberian hak monopoli, dimana dengan hak tersebut pemilik HKI dapat menikmati manfaat ekonomi dan kesejahteraan dari karya kekayaan intelektual yang dimilikinya. Perlindungan hukum atas hak cipta kecenderungannya dimiliki oleh pemegang hak cipta dalam ranah hukum perdata dan hukum pidana.

Pemegang hak cipta dalam ranah hukum perdata untuk menghindari gugatan pihak lain terkait hasil karya cipta yang telah didaftarkan. Sedangkan sanksi pidana untuk perlindungan hak cipta dari aktivitas pemalsuan atau penggandaan hak cipta yang bersifat serius.

“Namun, pada saat ini semakin berkembang kasus-kasus pidana, khususnya terkait pelanggaran hak cipta dalam dunia digital,” kata Hermansyah Dulaimi dalam sidang terbuka promosi Doktor Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, Kamis (2/9/2021).

Hermansyah melihat tantangan teknologi digital telah mengaburkan batas antara berbagai kategori karya berhak cipta dan sarana komunikasi kepada publik. Di sisi lain, di tengah-tengah perkembangan yang begitu cepat dalam teknologi digital, jaringan komputer, khususnya internet, memunculkan cara transmisi point-to-point berdasarkan permintaan dan interaktif.

Digitalisasi karya faktanya tergabung dalam peningkatan pengadopsian teknologi pendistribusian melalui broadband, telah merepresentasikan revolusi dan tantangan yang memberi kesempatan besar untuk perkembangan model bisnis baru dan transformasi model distribusi konvensional. Misalnya, penggunaan peer to peer dalam sistem jaringan internal telah mendorong praktek pengalihan karya digital yang cepat dan masif.

“Tentunya, praktek ini dapat saja melanggar hukum dalam bentuk penyebarluasan digital (viral, red) secara melawan hukum,” kata Hermansyah di hadapan Tim Penguji.   

Menurut Hermansyah, lahirnya UU No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi kreatif yang menjadi salah satu andalan Indonesia dan berbagai negara serta berkembang pesatnya teknologi informasi dan komunikasi.

Selain itu, ada sejumlah regulasi terkait hak cipta, khususnya lagu/musik, seperti PP No.36 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perjanjian Lisensi kekayaan Intelektual; PP No.28 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku Pada Kementerian Hukum dan HAM; PP No.16 Tahun 2020 tentang Pencatatan Ciptaan dan Produk Hak Terkait; dan PP No.56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Hermansyah menerangkan saat ini kebijakan pengaturan hak cipta di dunia digital terutama pengaturan royalti di dunia musik melalui pembentukan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Hal ini diperkuat dengan peraturan yang mengatur tarif royalti di beberapa tempat yakni dalam Keputusan Menkumham No. HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti untuk Pengguna yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu.

Dalam disertasinya itu, Hermansyah merekomendasikan beberapa hal, antara lain perlunya revisi UU No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan memasukkan pasal-pasal yang mengatur tentang pelindungan hak cipta di era digital terutama terkait digital book dan konten digital lainnya.

Selain itu, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional menyusun peraturan perundang-undangan tentang tarif yang sesuai dan telah standar mengikuti negara maju lainnya yang telah memiliki pengaturan royalti untuk dipakai dalam penarikan royalti untuk musik yang diputar di aplikasi musik streaming.

Dalam sidang doktoral itu Hermansyah berhasil mempertahankan disertasinya dengan nilai cum laude. Tim Penguji sidang desertasi ini dipimpin Dr. Ir. Ayub Muktiono (Rektor) dengan anggota Drs. H. Muchtar HP (Plt. Dekan Fakultas Hukum); Dr. Firman Wijaya (Kaprodi Program Doktor Ilmu Hukum) dan Dr. Hartanto (Sekprodi Program Doktor Ilmu Hukum).

Dengan promotor Prof. Gayus Lumbuun; Dr. Surya Dharma (Co-Promotor I); dan Dr. Yuherman (Co-Promotor II). Menjadi penanggap dalam sidang tersebut yakni Prof HM Syarifuddin, Prof Otto Hasibuan, Prof Mahfud MD, dan Dr. Ir. Syarifuddin.

Tags:

Berita Terkait