Menelusuri Pembentukan TPM dan ‘Cap’ Pengacara Teroris
Berita

Menelusuri Pembentukan TPM dan ‘Cap’ Pengacara Teroris

Sebagai pembela, advokat wajib menjaga citra dan profesionalitas serta berpegang teguh pada hukum, tidak membangkitkan hal-hal non juridis.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
Mahendradatta (tengah). Foto: SGP
Mahendradatta (tengah). Foto: SGP
Bertindak sebagai kuasa hukum Abu Bakar Ba’asyir, nama Tim Pengacara Muslim (TPM) kian santer terdengar. Terlebih lagi TPM juga merupakan pendamping orang-orang yang divonis sebagai otak peristiwa Bom Bali tahun 2002, Amrozi CS.

Pengalaman TPM menangani rentetan dugaan kasus terorisme mengerucut pada pola pikir masyarakat bahwa TPM merupakan perkumpulan advokat yang memiliki spesialisasi untuk menangani tindak pidana satu ini. Namun bagaimana cerita awalnya hingga TPM terbentuk?

Usut punya usut awalnya TPM dibentuk hanya untuk menyeimbangi posisi umat muslim dalam konflik di Ambon. Dalam halaman website TPM dijabarkan bahwa TPM bermula dari kasus Ja’far Umar Thalib, komandan laskar jihad Ahlussunnah wal Jama’ah, ketika membela umat Islam yang menjadi korban tragedi kemanusiaan Idul Fitri Berdarah di Ambon pada Januari 1999.

Setelah tragedi itu kasus demi kasus kemudian bermunculan tak hanya di Ambon, tetapi juga di Maluku dan Poso. Di sana ribuan umat Islam dibantai, dihilangkan, dan dijadikan pengungsi karena kehilangan hak keperdataan seperti hak milik atas tanah.

Dari situ, salah satu penggagas TPM, Muhammad Mahendradatta mengatakan, timbul perasaan simpati dari dalam dirinya dan rekannya yang lain melihat ada kelompok muslim terdzalimi namun tidak memiliki pendamping untuk menegakkan hak-hak hukum mereka dalam konflik.

“Saya melihat ada suatu kaum yang mendapat ancaman hukum, permasalahan hukum, yang di situ negara juga ikut terlibat dan kemudian berpihak pada salah satu golongan padahal kondisi sedang konflik. Nah tapi kok ngga ada pembelaan? Ngga ada pengacara yang mendampingi mereka? Kemudian ya sudah, saya mau bela deh pikir saya,” tutur Mahendradatta kepada hukumonline, Senin (25/1).

Di samping itu, umat nasrani juga telah memiliki Tim Pengacara Gereja (TPG) yang bahkan gaungnya sampai ke Belanda. Maka untuk mengimbangi lawan, lanjut lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini, dirinya bersama sejumlah rekannya membentuk TPM.

Mahendradatta mengatakan, usai pendampingan untuk umat Islam di Ambon, awal pembentukan TPM sebagai tim ad hoc yang bertugas dalam konflik itu saja malah mendapat banyak permintaan bantuan hukum dari aktivis muslim yang lain. Salah satunya untuk mendampingi mantan Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq.

Permintaan pun terus mengalir dari aktivis-aktivis Islam yang ditangkap oleh aparat dengan tuduhan terkait dalam kasus terorisme pasca Bom Bali. TPM tercatat sebagai kuasa hukum terduga dalam beberapa kasus seperti Bom Malam Natal, Bom Kedubes Australia, Bom JW Marriot, dan Bom Cimanggis.

Kini Mahendradatta dan rekan-rekannya sering disebut sebagai pengacara teroris. Pemilihan kata yang menurutnya agak kurang tepat karena kesannya mereka adalah teroris yang berprofesi sebagai pengacara. Namun, ia tak pernah keberatan dengan hal tersebut.

Meski memperoleh ‘cap’ pengacara teroris, Mahendradatta lebih mengedepankan menjaga citra dan profesionalitas sebagai advokat, sehingga tak ikut-ikutan terpojok karena stigma masyarakat kepada pelaku teroris. Salah satu caranya, dengan berpegang pada hukum dalam setiap langkah pembelaan.

Straight to the point pada hukum, keep on the track! Jangan kemudian, maaf, kita ikut-ikutan takbir. Membangkitkan hal-hal yang non juris seperti ngomong, ‘ini penyerangan terhadap Islam! Ini skenario Amerika!’,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait