Menengok Kembali Perjalanan UU Tax Amnesty
Berita

Menengok Kembali Perjalanan UU Tax Amnesty

Diwarnai penolakan oleh Fraksi PKS.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi: HLM
Foto ilustrasi: HLM
Setelah menuai perdebatan dalam rapat paripurna, Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty resmi masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015. Secara teknis inisiatif RUU ini menjadi inisiasi bersama-sama. Awalnya, di tingkat Badan Legislasi (Baleg), RUU Tax Amnesty disepakati menjadi hak inisiatif pemerintah. Namun, dinamika dalam rapat paripurna menuai perdebatan panjang. Mengingat batas waktu Prolegnas 2015 akan berakhir saat RUU tersebut ditetapkan masuk Prolegnas 2015, maka pembahannya dilanjutkan pada Prolegnas 2016.

Walaupun telah masuk ke dalam Prolegnas, nyatanya pembahasan RUU Tax Amensty tak berjalan mulus. Hingga bulan April 2016, pembahasan RUU Tax Amnesty masih stagnan. Pembahasan tersebut bahkan sempat berhenti, menunggu hasil konsultasi antara DPR dengan Presiden Joko Widodo.

Di tengah tarik-ulur pembahasan RUU Tax Amnesty, muncul kabar mengejutkan hasil laporan investigasi mengenai firma hukum asal Panama, Mossack Fonseca yang di dalamnya terdapat dokumen berisi data perusahaan bayangan di yurisdiksi bebas pajak (offshore). Perusahaan offshore itu ditengarai sebagai sarana untuk menghindari pajak. Total catatan yang terbongkar mencapai 11,5 juta dokumen.

Isi dokumen itu mengungkapkan bagaimana jejaring korupsi dan kejahatan pajak para kepala negara, agen rahasia, pesohor, sampai buronan disembunyikan di wilayah-wilayah surga bebas pajak (tax heavens). Terdapat lebih dari 2000 nama perseorangan dan perusahaan di Indonesia yang terindikasi ada di dokumen tersebut.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengaku bahwa data Panama Papers dijadikan sebagai data pembanding. Informasi tersebut digunakan untuk menilai aset wajib pajak di luar negeri. Meskipun, pada dasarnya data milik Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, DJP berasal dari data resmi otoritas pajak dari negara-negara G20.

Di satu sisi fenomena Panama Papers menguatkan pembahasan RUU Tax Amnesty. Pemerintah semakin yakin bahwa kebijakan ini menjadi salah satu upaya penting untuk merepatriasi aset wajib pajak yang disimpan di luar negeri. “Kebijakan pengampunan pajak ini menjadi momentum untuk merevitalisasi kebijakan perpajakan,” ujar Bambang Brodjonegoro, Rabu (6/4).

Sementara itu, kalangan LSM menilai bahwa Tax Amnesty tak selayaknya dilaksanakan di Indonesia. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai RUU Pengampunan Pajak bukan solusi atas pengemplangan pajak di Indonesia. RUU Pengampunan Pajak justru terkesan bertentangan dengan semangat penegakan hukum yang dicanangkan sendiri DJP Kementerian Keuangan. Fitra menilai keinginan Pemerintah mendorong ‘pengampunan’ justru suatu langkah mundur.

“Sedih, di Indonesia Panama Papers justru seperti vitamin bagi gerombolan pengemplang pajak yang siap diampuni,” kata Sekjen FITRA Yenny Sucipto, Kamis (14/4).

Kontroversi pengampunan pajak yang bergolak di tengah masyarakat tak menyurutkan pembahasan RUU itu di ruang parlemen. Ada tiga isu krusial yang menghangat di tengah pembahasan tersebut. Pertama, terkait dengan reformasi perpajakan yang mesti dilakukan bersamaan dengan pengampunan pajak. Reformasi perpajakan meliputi aspek regulasi, administrasi dan institusi perpajakan. Dalam pembahasan, sedari awal masing-masing fraksi di DPR acapkali mendorong agar pengampunan pajak menjadi bagian tak terpisahkan dari reformasi perpajakan.

Kedua, terkait dengan tarif tebusan yang dinilai terlampau rendah. Menurutnya, rendahnya tarif tebusan dapat mencederai rasa keadilan. Bahkan, membuat negara kehilangan banyak potensi penerimaan negara. Sebagaimana diketahui, dalam draf RUU Pengampunan Pajak, tarif tebusan sebesar 2,4 atau 6 persen diperuntukan non-repatriasi dan 1, 2, atau 3 persen untuk repatrasi.

“Nyaris semua fraksi di parlemen meminta tarif dinaikkan. Usulan yang diminta mulai kisaran 5 hingga 15 persen. Namun, terdapat sebagian fraksi termasuk PKS meminta agar sanksi administrasi dihapus, sehingga hanya pidana pajak yang diterapkan. Dengan begitu, tarif tebusan sesuai tarif normal KUP setidaknya berkisar 25 hingga 30 persen,” ujar anggota Komisi XI Ecky Awal Mucharam (27/5).

Ketiga, terkait dengan data dan informasi harta peserta pengampunan pajak. Pasal 15 dalam draf RUU Pengampunan Pajak menyatakan, “Data dan informasi yang terdapat dalam Surat Permohonan Pengampunan Pajak tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak”.

“Kami meminta agar hal ini menjadi hanya terbatas pada pidana perpajakannya saja. Data dan informasi dari Pengampunan Pajak harus tetap dapat digunakan untuk penyidikan, penyelidikan, dan pengusutan pidana lainnya seperti korupsi, narkoba, terorisme, dan perdagangan manusia,” tambah Ecky.

Pada pertengahan Juni lalu, perjalanan RUU Tax Amnesty berakhir sukses. Dokumen itu disahkan menjadi hukum positif. Pengesahan itu diwarnai penolakan oleh Fraksi PKS. Ada beberapa pasal yang menjadi sandungan bagi PKS. Pertama, Pasal 3 ayat (5) terkait aturan objek pengampunan pajak. Kedua, Pasal 4 yang mengatur tarif tebusan dan fasilitas. Ketiga, Pasal 20 mengatur data dan informasi yang bersumber dari surat pernyataan.

Meski begitu, UU itu tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017. Bambang Brodjonegoro mengatakan, ada alasan khusus mengapa aturan itu berlaku hanya sembilan bulan. Menurutnya, hal ini untuk menghindari gugatan pajak yang dilakukan selama tax amnesty.
Tags:

Berita Terkait