Mengambil Pelajaran dari Kasus Kecelakaan Pesawat
Terbaru

Mengambil Pelajaran dari Kasus Kecelakaan Pesawat

Pengesahan Konvensi Montreal 1999 bermanfaat bagi Indonesia.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit

Adhy mengingat ketika terjadi kasus kecelakaan pesawat Malaysia Airlines MH17 dalam penerbangan dari Amsterdam menuju Kuala Lumpur pada Juli 2014. Seluruh penumpang dan kru tewas (298 orang). Dijelaskan Adhy, ada 12 orang penumpang pesawat itu berkewarganegaraan Indonesia. Pihak maskapai menawarkan kompensasi sebesar 60 ribu dolar AS kepada korban penumpang WNI, sedangkan penumpang berkewarganegaraan asing ditawarkan kompensasi senilai 160 ribu dolar AS. Berdasarkan dokumen yang diterima Adhy, terungkap bahwa kompensasi senilai 60 ribu dolar AS layak diberikan kepada penumpang WNI karena Indonesia baru meratifikasi Konvensi Warsawa 1929, dan belum meratifikasi Konvensi Montreal.

Konvensi Warsawa, yang mengatur tanggung jawab pengangkut atas pengangkutan udara internasional, diratifikasi pada era Hindia Belanda melalui Staatsblad Tahun 1939 No. 100. Masih ada perkembangan regulasi internasional yang relevan seperti Konvensi Roma 1951, Protokol Den Haag 1955, Konvensi Guadalajara 1961, Protokol Montreal 1966, Protokol Guatemala City 1971, dan Konvensi Montreal 1999.

Konvensi Montreal adalah konvensi unifikasi peraturan-peraturan tertentu penerbangan internasional lewat udara. Indonesia baru meratifikasi Konvensi ini pada 21 November 2016 melalui Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2016. Penyerahan piagam aksesi Konvensi dilakukan di kantor pusat organisasi penerbangan sipil internasional (ICAO) di Montreal Kanada pada 20 Maret 2017. Secara resmi Indonesia terikat pada Konvensi ini pada 19 Mei 2017 (60 hari terhitung sejak penyerahan piagam aksesi).

Menurut Adhy, pengesahan Konvensi Montreal sangat penting artinya bagi Indonesia. “Dengan) meratifikasi Konvensi ini, kita tidak hanya berbicara mengenai kepentingan para penumpang. Artinya, ada kepentingan lain yang harus dilindungi, yaitu kepentingan maskapai,” terangnya.

Ia juga menjelaskan bahwa dengan meratifikasi Konvensi Montreal maka nilai kompensasi bila terjadi kecelakaan pesawat akan melambung tinggi. Padahal dalam suatu kecelakaan pesawat, perusahaan maskapai bukan hanya membayarkan kompensasi korban, melainkan juga mendapat kerugian atas kehilangan pesawatnya. Untuk itu “kesenjangan” antara kepentingan perusahaan maskapai dengan kebutuhan perlindungan WNI harus dapat dipertemukan.

Meski demikian, Adhy melanjutkan, dalam UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UU Penerbangan) ada sejumlah pasal yang justru merugikan pihak maskapai. Salah satunya Pasal 151 ayat (4) yang tidak memberikan batasan tentang tanggung jawab maskapai jika ada tiket penumpang yang tidak sebagaimana mestinya. “Berbicara ganti rugi bukan hanya berbicara tentang nilai, apa lagi nyawa. Tetapi kemudian kita berbicara tentang sepatutnya, selayaknya. Kemudian bagaimana hukum itu bisa dianggap memberikan nilai yang layak untuk sebuah ganti rugi. Poin utamanya di sini. Dan Pasal 151 ayat (4) UU No. 1 Tahun 2009 yang mengadopsi dari Warsaw Convention merugikan pihak maskapai. Ini saya katakan salah satu contoh yang kemudian maskapai bisa menerima.”

Director AIILS itu juga menggarisbawahi manfaat lain bagi maskapai setelah pengesahan Konvensi Montreal. Pandangan dunia terhadap perlindungan maskapai nasional sama bagusnya dengan maskapai asing.

Tags:

Berita Terkait