Mengenal Aturan dan Implikasi Hukum Perubahan Nama Jalan
Berita

Mengenal Aturan dan Implikasi Hukum Perubahan Nama Jalan

Bila terjadi perubahan nama jalan, maka yang dituntut untuk pro-aktif dalam mengajukan permohonan perubahan alamat pada sertifikat dan buku tanahnya adalah pemilik hak itu sendiri.

Oleh:
CR-25
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi foto: wikimapia.org
Ilustrasi foto: wikimapia.org

Baru-baru ini muncul Instruksi Walikota Kota Administrasi Jakarta Selatan No.3 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kajian dan Sosialisasi atas Permohonan Perubahan Nama Jalan, yang dilanjutkan dengan tersebarnya surat sosialisasi dari kelurahan, hingga spanduk sosialisasi yang terpasang di beberapa titik di sekitar jalan. Berdasarkan Instruksi Walikota tersebut, jalan yang akan diubah yakni mulai jalan terusan dari Jl. H.R. Rasuna Said, yaitu mulai perbatasan Jl. Jend. Gatot Subroto, Jl. Mampang Raya, Jl. Buncit Raya sampai dengan perbatasan Jl. Letjen TB Simatupang menjadi Jl. Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution.

 

Untuk diketahui, peraturan penamaan jalan masih menggunakan peraturan daerah masing-masing. Pemprov DKI Jakarta memiliki aturan mengenai penamaan jalan. Perubahan nama jalan di DKI Jakarta merujuk pada Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 28 Tahun 1999 tentang Pedoman Penetapan Nama Jalan, Tanah dan Bangunan Umum di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

 

Prosedurnya, penabalan nama seseorang menjadi nama jalan bisa atas usulan perseorangan, kelompok organisasi, atau inisiatif Pemda sendiri. Permohonan ini diajukan secara tertulis kepada gubernur. Kemudian, usulan ini dinilai oleh sebuah tim dari Badan Pertimbangan Pemberian Nama Jalan, Taman, dan Bangunan. Badan ini akan melihat pada nilai ketokohan, kepahlawanan atau jasa-jasa orang yang diusulkan. Penetapan nama jalan juga didasarkan pada sifat promosi nama yang dipilih, mudah dikenal masyarakat, dan tidak bertentangan dengan kesopanan dan ketertiban umum.

 

Hukumonline.com

Sumber: Istimewa

 

Dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Harsanto Nursadi, berpendapat sudah sepatutnya kebijakan aturan perubahan nama jalan diserahkan kepada pemerintah daerah. Hal ini sebagai implementasi konsep otonomi daerah. “Perubahan nama jalan itu kan sifatnya lokal, sehingga memang harus diurus lokal,” kata Harsanto kepada hukumonline, Senin (5/2).

 

(Baca Juga: Aturan Penamaan Jalan di Indonesia Tak Seragam)

 

Harsanto mengingatkan sudah sepatutnya gubernur atau kepala daerah mempertimbangkan secara masak  jika ingin melakukan perubahan nama jalan. Menurutnya, nama jalan tidak bisa semaunya diubah karena ada hak dan kewajiban hukum yang juga akan berubah di situ.

 

Guru Besar Hukum Agraria FHUI Arie Sukanti Hutagalung berpendapat, pergantian nama jalan sudah pasti berpengaruh pada status kepemilikan, seperti akta-akta atas kepemilikan tanah. Mengatasi hal itu, para pemegang hak dapat melakukan permohonan seperti perubahan surat-surat hak milik atas tanah, hak guna bangunan (HGB) maupun hak guna usaha (HGU) ke kantor pertanahan.

 

Arie menjelaskan, di halaman pertama buku tanah biasanya tertulis nomor sertifikat, desa/kelurahan, dan tempat. Bila terdapat perubahan nama jalan maka, pemegang hak membuat surat pernyataan permohonan kepada kantor pertanahan bahwa nama jalan tersebut sudah diubah dengan nama jalan yang baru, untuk kemudian dicatatkan di sertifikat.

 

(Baca Juga: Nama Jalan, Pahlawan, dan Tokoh Hukum)

 

Surat permohonan perubahan alamat di sertifikat tersebut, kata Arie, kemudian diketahui oleh RT/RW dan Kelurahan, lalu dilampirkan di buku tanah. Adapun Kantor Pertanahan yang akan dituju oleh pemegang hak adalah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya.

 

“Memang yang pro-aktif dalam melakukan perubahan alamat pada sertifikat adalah pemegang hak itu sendiri,” kata Arie kepada hukumonline.

 

Lebih lanjut, Arie menjelaskan bahwa pengajuan permohonan ini semata-mata bertujuan untuk melakukan pemeliharaan data. Berdasarkan penelusuran hukumonline,aturan terkait pemeliharaan data diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pasal 2 PP tersebut menegaskan bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan berlandaskan “asas mutakhir”.

 

Penjelasan pasal a quo menyebutkan bahwa asas mutakhir menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus-menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan.

 

Pernah dibahas oleh klinik hukum hukumonline dalam konteks perubahan alamat dikarenakan pemekaran wilayah, maka data tanah tersebut memang sebaiknya diperbaiki terutama untuk menghindari kesalahpahaman dan sengketa yang mungkin timbul mengenai kesalahan objek. Begitu pula halnya dengan perubahan alamat dikarenakan perubahan nama jalan.

 

Pemeliharaan data pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 36 PP No. 24 Tahun 1997 dilakukan bilamana terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar. Data fisik maupun data yuridis ini biasanya dicantumkan pada buku tanah.

 

Pasal 36

(1) Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada fisik atau data yurudis objek pendaftaran tanah yang telah terdaftar.

(2) Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kantor Pertanahan.

 

Data fisik berdasarkan Pasal 1 angka (6) PP 24/1997 berupa keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan diatasnya. Sedangkan data yuridis sebagaimana diatur pada pasal 1 angka (7) PP 24/1997 mencakup keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.

 

Tags:

Berita Terkait