Mengkritisi Tuntutan Rendah Penyerang Novel Baswedan
Utama

Mengkritisi Tuntutan Rendah Penyerang Novel Baswedan

Dari hukuman maksimal 7 tahun penuntut hanya menuntut 1 tahun, cacat permanen Novel di mata kiri tidak masuk dalam pertimbangan memberatkan.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

“Hal yang menjadi pertimbangan dalam menjatuhkan tuntutan pidana yaitu perbuatan terdakwa telah mencederai kehormatan institusi polri. Hal-hal yang meringankan terdakwa mengakui perbuatannya di persidangan, terdakwa kooperatif dalam persidangan, terdakwa telah mengabdi sebagai anggota Polri selama tujuh tahun,” katanya.

Usai sidang, salah satu penuntut umum Ahmad Patoni menjelaskan mengapa pihaknya memilih untuk menggunakan dakwaan subsider kepada para terdakwa khususnya Ronny Bugis yang merupakan pelaku penyiraman. Menurutnya Pasal 355 ayat (1) KUHP yang merupakan dakwaan primer harus ada unsur mempersiapkan untuk melukai orang tersebut dalam hal ini Novel Baswedan. Sementara dalam fakta persidangan, menurut Patoni Ronny tidak ada niat untuk melukai. (Baca: Novel Baswedan, Korban yang Dipersalahkan)

“Jadi gini Pasal 355 ayat (1) KUHP dia harus mempersiapkan untuk melukai orang itu sudah ada niat dari awal. Sedangkan di fakta persidangan dia tidak ada niat untuk melukai. Dalam fakta persidangan yang bersangkutan hanya ingin memberikan pelajaran kepada seseorang. Yaitu NB dikarenakan alasannya dia lupa dengan institusi, menjalankan institusi. Kemudian ketika dia ingin melakukan pembelajaran penyiraman ke badannya ternyata mengenai mata, maka kemudian pasal yang tepat adalah di Pasal 353 ayat (2) perencanaan, penganiyaan yang mengakibatkan luka berat. Berbeda dengan Pasal 355 ayat (1) , kalau Pasal 355 ayat (1) dari awal sudah mentarget dan dia lukai tuh sasarannya. Sedangkan ini dia tidak ada untuk melukai,” jelas Patoni.

Janggal sejak awal

Tim advokasi Novel Baswedan yang diwakili Kurnia Ramadhana mengkritik keras tuntutan ini. Menurutnya, sandiwara hukum yang selama ini dikhawatirkan oleh masyarakat akhirnya terkonfirmasi. Penuntut pada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta hanya menuntut dua terdakwa penyerang Novel Baswedan satu tahun penjara. Tuntutan ini tidak hanya sangat rendah, akan tetapi juga memalukan serta tidak berpihak pada korban kejahatan, terlebih ini adalah serangan brutal kepada Penyidik KPK yang telah terlibat banyak dalam upaya pemberantasan korupsi.

Sejak awal Tim Advokasi Novel Baswedan mengemukakan bahwa terdapat banyak kejanggalan dalam persidangan ini. Pertama, dakwaan jaksa seakan berupaya untuk menafikan fakta kejadian yang sebenarnya. Sebab, jaksa hanya mendakwa terdakwa dengan Pasal 351 dan Pasal 355 KUHP terkait dengan penganiayaan. Padahal kejadian yang menimpa Novel dapat berpotensi untuk menimbulkan akibat buruk, yakni meninggal dunia. Sehingga jaksa harus mendakwa dengan menggunakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana,” kata Kurnia dalam keterangan tertulisnya.

Kedua, saksi-saksi yang dianggap penting tidak dihadirkan jaksa di persidangan. Dalam pantauan Tim Advokasi Novel Baswedan setidaknya terdapat tiga orang saksi yang semestinya dapat dihadirkan di Persidangan untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya. Tiga saksi itu pun juga diketahui sudah pernah diperiksa oleh Penyidik Polri, Komnas HAM, serta Tim Pencari Fakta bentukan Kepolisian.

Namun, sayangnya Jaksa seakan hanya menganggap kesaksian mereka tidak memiliki nilai penting dalam perkara ini. Padahal esensi persidangan pidana itu adalah untuk menggali kebenaran materiil, sehingga langkah jaksa justru terlihat ingin menutupi fakta kejadian sebenarnya. Sementara poin ketiga peran penuntut umum terlihat seperti pembela para terdakwa. (Baca: Masa Kerja Tim Gabungan Kasus Novel Berakhir, Bagaimana Hasilnya?)

Hal ini menurutnya dengan mudah dapat disimpulkan oleh masyarakat ketika melihat tuntutan yang diberikan kepada dua terdakwa. Tak hanya itu, saat persidangan dengan agenda pemeriksaan Novel pun jaksa seakan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan Penyidik KPK ini. Semestinya Jaksa sebagai representasi negara dan juga korban dapat melihat kejadian ini lebih utuh, bukan justru mebuat perkara ini semakin keruh dan bisa berdampak sangat bahaya bagi petugas-petugas yang berupaya mengungkap korupsi ke depan.

“Persidangan kasus ini juga menunjukan hukum digunakan bukan untuk keadilan, tetapi sebaliknya hukum digunakan untuk melindungi pelaku dengan memberi hukuman ‘alakadarnya’, menutup keterlibatan aktor intelektual, mengabaikan fakta perencanaan pembunuhan yang sistematis, dan memberi bantuan hukum dari Polri kepada pelaku. Padahal jelas  menurut Pasal 13 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 menyatakan bahwa pendampingan hukum baru dapat dilakukan bilamana tindakan yang dituduhkan berkaitan dengan kepentingan tugas,” katanya.

Oleh karena itu Tim Advokasi Novel Baswedan menuntut tiga hal. Pertama, agar Majelis Hakim tidak larut dalam sandiwara hukum ini dan harus melihat fakta sebenarnya yang menimpa Novel Baswedan. Kedua, Presiden Joko Widodo untuk membuka tabir sandiwara hukum ini dengan membentuk Tim Pencari Fakta Independen dan ketiga Komisi Kejaksaan mesti menindaklanjuti temuan ini dengan memeriksa Jaksa Penuntut Umum dalam perkara penyerangan terhadap Novel Baswedan.

Tags:

Berita Terkait