Menguji Integritas Hakim Konstitusi di Pengujian Formil UU MK
Utama

Menguji Integritas Hakim Konstitusi di Pengujian Formil UU MK

Nantinya, publik dapat melihat siapa hakim konstitusi yang menerima (mengabulkan), dissenting, ataupun menolak pengujian UU MK ini.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Kedua, dugaan upaya penjinakan MK. Dia menilai pembentuk UU menganggap MK sebagai “ancaman”. Di tangan MK, sudah banyak produk legislasi UU yang sudah dibatalkan pasal-pasalnya. Bahkan ada pula UU yang dibatalkan secara keseluruhan. Lantaran adanya “ancaman” itulah, pembentuk UU memberi “hadiah” untuk memperpanjang masa jabatan hakim MK.

“Dalam arti menjinakan atau melakukan barter tertentu yang ada di dalam MK. Kendati ini menjadi tantangan kenegarawanan hakim MK dan menjerumuskan MK pada pusaran konflik kepentingan. Harapan kita MK tidak mudah dirayu dengan perpanjangan masa jabatan itu,” harapnya.

Ketiga, tantangan ke depan. Koalisi masyarakat sipil sedang menguji UU 7/2020. Tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi semua pihak. Apalagi belum ada satupun UU yang diuji formil dikabulkan MK. Selain itu, cara pandang MK yang enggan memperhatikan proses pembentukan UU lantaran lebih mengedepankan aspek substantif UU.

Bagi perempuan yang menjadi pemohon uji formil UU 7/2020 itu, ketegasan Mahkamah dalam memberi putusan sangat penting. MK menjadi pegangan dan preseden terkait dengan pembentukan UU yang lebih baik ke depannya. Sebaliknya, ketidaktegasan Mahkamah memberi putusan yang paradok, justru memberi ruang pembentuk UU melakukan penyalahgunaan due process of law making.

“Ini menjadi tantangan juga bagi MK. Jangan sampai ini menimbulkan anomali. Sebab, pengujian materil banyak juga UU dibatalkan seluruhnya. Tapi Mahkamah tidak menanyakan asas kemanfaatan,” ujarnya.

Pelemahan MK

Kuasa hukum pemohon uji formil UU 7/2020, Agil Oktaryal berpendapat, berkaca dari sejumlah peristiwa pelemahan terhadap Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), MK pun mengalami hal serupa. Pelemahan terhadap MK dilakukan melalui jalur legislasi. Sejauh ini, pelemahan terhadap jalur legislasi dan jalur politik kerap terjadi.

Seperti pidato Presiden Joko Widodo pada penyampaian Laporan Tahunan MK Tahun 2019 yang meminta dukungan terkait kemungkinan pengajuan uji materi UU Cipta Kerja oleh masyarakat. Ucapan itu disampaikan Jokowi pada Januari 2020 lalu di gedung MK. Bagi Agil, pernyataan Presiden mengganggu independensi MK.

Dia mengakui memang unsur hakim MK, salah satunya berasal dari usulan pemerintah/presiden selain DPR dan MA. Presiden semestinya sadar bahwa pemerintah dalam pengujian UU sebagai pihak yang berpekara. Menurutnya, cara-cara melemahkan lembaga konstitusi bagian dari meruntuhkan demokrasi. “Revisi UU MK adalah cara mengganggu independen hakim yang sedang menjabat serta ada motif-motif pelemahan terhadap MK,” kata dia.

Secara prosedur, salah satu argumentasi yang menjadi dalil diajukan uji formil terkait ketiadaan asas keterbukaan terhadap masyarakat. Pembahasan revisi UU 7/2020 saat itu dilakukan tertutup dan lebih cepat pembahasannya, hanya dalam kurun waktu 7 hari kerja. “Nah, dengan cara-cara seperti itu, dianggap melanggar prinsip-prinsip konstitusi.”

Soal peluang uji formil UU 7/2020, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia itu menilai menjadi tantangan tersendiri bagi hakim konstitusi. “Integritas hakim konstitusi diuji terkait dengan dirinya sendiri. Apakah mereka mau menerima atau tidak. Kita bisa lihat siapa yang menerima (mengabulkan, red), siapa yang dissenting, kita bisa mengukur integritas 9 hakim konstitusi (melalui putusan pengujian UU MK ini, red),” katanya.

Tags:

Berita Terkait