Menguji Integritas Hakim Konstitusi di Pengujian Formil UU MK
Utama

Menguji Integritas Hakim Konstitusi di Pengujian Formil UU MK

Nantinya, publik dapat melihat siapa hakim konstitusi yang menerima (mengabulkan), dissenting, ataupun menolak pengujian UU MK ini.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

“Banyak sekali UU yang diuji formil, MK menilai ternyata dengan asas kemanfaatan tidak layak dibatalkan karena dampaknya buruk,” ujarnya. (Baca Juga: Dosen Uji Formil UU MK dan Persoalkan Syarat Usia Hakim Konstitusi)

Kedua, benturan kepentingan. Menurutnya, terdapat kepentingan nyata hakim dalam perkara uji formil UU 7/2020.  Sebab terkait dengan masa jabatan hakim konstitusi. Di lain sisi terdapat asas nemo judex idoneus in propria causa, seorang tidak dapat menjadi hakim bila mengadili kepentingan dirinya sendiri. Sementara MK pun pernah menyimpangi asas tersebut pada putusan MK No.066/PU-II/2004, putusan MK No.005/PUU-IV/2006, dan putusan MK No.49/PUU-IX/2011.

Perempuan yang akrab disapa Bibip itu menilai dengan alasan serupa pada putusan-putusan terdahulu, menjadi layak diterapkan pada uji fomil UU MK terkait asas nemo judex idoneus in propria causa. Menurutnya, UU 7/2020 memiliki benturan kepentingan dan nyata dampaknya, terlihat jelas. Seperti adanya keistimewaan yang diberikan bagi sembilan hakim MK. Hal itulah membuat MK tak berdaya memberikan fungsi check and balance terhadap lembaga eksekutif dan legislatif.

Kita semua harus mendorong uji formil ini supaya DPR dan presiden tak melakuakn abuse of process,” lanjutnya.

Sangat mengkhawatirkan

Peneliti Kode Inisiatif, Violla Reininda melanjutkan praktik abuse of process dalam pembentukan UU yang dilakukan DPR dan pemerintah sangat mengkhawatirkan. Bahkan menjadi persoalan besar dalam kehidupan bernegara. Karenanya, MK semestinya menghentikan praktik abuse of process ini agar tidak terjadi dampak buruk yang lebih besar. Setidaknya terdapat tiga hal yang perlu mendapat perhatian.

Pertama, proses pembentukan UU banyak melanggar prosedur. Menurutnya, pelanggaran prosedur bukanlah ketidaksengajaan, tapi sudah direncakana sedemikian rupa untuk meloloskan aturan-aturan yang berpotensi menabrak konstitusi, khususnya saat merevisi UU 24/2003. Dalam kaitan pembentukannya, revisi UU 24/2003 masuk daftar kumulatif terbuka sebagai bagian tindak lanjut putusan MK. Namun revisi tentang masa jabatan dan usia hakim MK tersebut justru di luar dari tindak lanjut putusan MK.

“Seolah-olah perpanjangan masa jabatan untuk menjaga independensi hakim konstitusi. Tapi kenapa dengan cara-cara yang melanggar prosedur tanpa urgensi yang justru menguntungkan hakim konstitusi saat ini yang sedang menjabat,” kata Violla dalam kesempatan yang sama.

Tags:

Berita Terkait