Mengunjungi Kembali Konsep Pidana Denda UU Darurat Tindak Pidana Ekonomi
Kolom

Mengunjungi Kembali Konsep Pidana Denda UU Darurat Tindak Pidana Ekonomi

​​​​​​​Konsep pengancaman pidana denda berdasarkan nilai/harga barang dalam UU Darurat Tindak Pidana Ekonomi dapat dirujuk sebagai konsep pengancaman pidana denda yang lebih lestari dan fleksibel dalam menghadapi perubahan nilai uang.

Bacaan 2 Menit

Dalam Wetboek van Strafrecht Belanda, subjek hukum korporasi dapat dijatuhi pidana denda maksimum sebesar 10% dari pendapatan tahunannya (annual revenue). Bagi subjek hukum orang, sama seperti di Indonesia, ancaman pidananya telah tertentukan dalam rumusan delik. Namun begitu, Pemerintah Belanda wajib menyesuaikan nilai ancaman pidana denda setiap dua tahun yang diselaraskan dengan perkembangan Consumer Price Index. Fitur terakhir ini belum dimiliki Indonesia dan tampaknya dicoba untuk diadopsi dalam Rancangan KUHP.

Selain merujuk hukum-hukum di negara asing itu, mungkinkah kita mengupayakan solusi lain dengan menengok ke dalam negeri sendiri dan mengidentifikasi undang-undang pidana Indonesia yang mungkin dapat menjadi jawaban bagi permasalahan ketertinggalan nilai ancaman pidana denda? Mungkinkah solusi itu kita temukan dengan menggali kembali khazanah konfigurasi hukum pidana Indonesia di masa silam? Penulis dengan percaya diri menjawab “Ya, mungkin!” terhadap 2 pertanyaan tersebut, dan menawarkan konsep pidana denda dalam UU Darurat Tindak Pidana Ekonomi sebagai alternatif solusi.

Konsep Pidana Denda dalam UU Darurat Tindak Pidana Ekonomi

UU Darurat No. 7/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (UU Drt TPE) terbit pada 1955, 10 tahun setelah kelahiran republik. Menurut Reksodiputro, UU ini adalah “saduran” (terjemahan dengan penyesuaian di sana sini) dari Wet op de Economische Delicten Belanda, yang diundangkan pada 1950. UU Drt TPE mungkin tidak lagi ramai dikaji karena tidak banyak ditemukan proses perkara pidana berdasarkan UU tersebut pada masa sekarang (meskipun masih ditemukan beberapa putusan pengadilan yang mengadili tindak pidana terkait perdagangan barang-barang dalam pengawasan berdasarkan UU ini).

Mengenai penjatuhan pidana denda, Pasal 6 ayat (2) UU Drt TPE merumuskan: “Jika harga barang, dengan mana atau mengenai mana tindak-pidana ekonomi itu dilakukan, atau yang diperoleh - baik seluruhnya maupun sebagian - karena tindak-pidana ekonomi itu, lebih tinggi daripada seperempat bagian hukuman denda tertinggi yang disebut dalam ayat 1 sub a sampai dengan d, hukuman denda itu dapat ditentukan setinggi-tingginya empat kali harga barang itu.”

Maksimum pidana denda untuk delik sebagaimana diatur dalam:

  1. Pasal 6 ayat (1) sub a jo. Pasal 1 sub 1e adalah Rp500 ribu, yang berdasarkan Perpu No. 21/1959 tentang Memperberat Ancaman Hukuman terhadap Tindak Pidana Ekonomi menjadi Rp15 juta (30 kali jumlah awal);
  2. Pasal 6 ayat (1) sub b jo. Pasal 1 sub 2e adalah Rp100 ribu, yang berdasarkan Perpu No. 21/1959 menjadi Rp3 juta;
  3. Pasal 6 ayat (1) sub c jo. Pasal 1 sub 1e adalah Rp100 ribu, yang berdasarkan Perpu No. 21/1959 menjadi Rp3 juta; dan
  4. Pasal 6 ayat (1) sub d jo. Pasal 1 sub 3e adalah Rp50 ribu, yang berdasarkan Perpu No. 21/1959 menjadi Rp1,5 juta.

Ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU Drt TPE inilah yang secara kontras dan radikal membedakan UU Drt TPE dengan UU pidana lain. Jika mayoritas -untuk tidak mengatakan hampir semua- UU pidana Indonesia mengatur ancaman pidana denda yang nilainya telah tertentukan dalam rumusan pasal, UU Drt TPE menentukan bahwa pidana denda dapat dijatuhkan berdasarkan perhitungan (4 kali) harga barang, baik barang dengan mana delik dilakukan (sebagai alat), barang terhadap mana delik dilakukan (sebagai objek), maupun barang yang diperoleh dari tindak pidana (sebagai hasil).

Dengan aturan ini, jika ada subjek hukum yang melakukan tindak pidana ekonomi di masa sekarang, terhadapnya dapat dijatuhi pidana denda sejumlah 4 kali dari harga barang, yang nilainya amat mungkin melampaui maksimum pidana denda sebagaimana ditentukan dalam UU Drt TPE jo. Perpu No. 21/1959 (berkisar dari Rp1,5 juta s.d. Rp15 juta). Perlu digarisbawahi pula bahwa penjatuhan pidana denda berdasarkan harga barang ini berbeda rezim dengan pengenaan pidana tambahan berupa perampasan barang (Pasal 7 UU Drt TPE), sehingga pidana denda dapat dijatuhkan secara bersama-sama/kumulatif dengan perampasan barang.

Tags:

Berita Terkait