Menimbang Potensi dan Tantangan Penerapan Pajak Digital di Tengah Pandemi
Terbaru

Menimbang Potensi dan Tantangan Penerapan Pajak Digital di Tengah Pandemi

Pengenaan pajak digital Indonesia dianggap membebani bisnis perusahaan asing. Keberatan ini sangat beralasan karena di level global belum ada kesepakatan multilateral yang menaungi.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Instrumen pajak menjadi salah satu cara pemerintah untuk menyesuaikan kondisi postur anggaran pada pandemi Covid-19. Berbagai rencana kebijakan perpajakan pemerintah seperti kenaikan Pajakan Pertambahan Nilai (PPN), perubahan Pajak Penghasilan (PPh) orang dan badan serta pengampunan pajak (tax amnesty) telah diwacanakan.

Salah satu sektor yang menjadi perhatian saat ini yaitu industri ekonomi digital. Pengenaan pajak terhadap produk dan layanan digital dianggap sebagai potensi untuk menambah penerimaan negara. Namun hal ini juga mendapatkan tantangan, terutama dari regulasi yang menargetkan penerimaan pajak dari perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. 

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Pingkan Audrine Kosijungan, menyampaikan respons dan antisipasi pemerintah terhadap dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional adalah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang kemudian disahkan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 mengatur beberapa kebijakan baru serta revisi untuk menstabilkan keuangan negara.

UU 2/2020 mengamanatkan tiga pengenaan pajak yang dapat dilakukan di masa pandemi, yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi PMSE, Pajak Penghasilan (PPh) Badan melalui redefinisi Bentuk Usaha Tetap (BUT), dan Pajak Transaksi Elektronik (PTE) atau pajak tambahan apabila PPh Badan tidak dapat dikenakan karena adanya perjanjian pajak antar negara.

PPN sendiri merupakan pajak yang dikenakan atas penambahan nilai suatu barang yang melalui proses distribusi dan produksi. “Ekonomi digital Indonesia terus berkembang dan sudah mencapai ukuran yang besar. Nilai Gross Merchandise Value (GMV) ekonomi digital (yang menghitung nilai transaksi atau penjualan) pada 2020 sudah mencapai US$ 44 miliar dan berkontribusi pada setengah total GMV ekonomi digital Asia Tenggara, berdasarkan data Google, Temasek dan Bain & Company 2020. 

Pesatnya pertumbuhan ekonomi digital Indonesia tidak hanya memunculkan unicorn asal Indonesia tapi juga menghadirkan perusahaan-perusahaan asing,” jelas Pingkan, Kamis (20/5).  (Baca: Surati DPR, Pemerintah Siap Bahas Rencana Kenaikan PPN)

Dia mengatakan mengingat karakteristik usaha digital yang berbeda dengan usaha tradisional yang biasanya hadir dalam bentuk fisik, seperti bangunan, maka pemerintah memperkenalkan ketentuan untuk meregulasi mereka, salah satunya adalah pengenaan pajak pada produk dan layanan digital.

Tags:

Berita Terkait