Menuju Good Corporate Governance (II)
Kolom

Menuju Good Corporate Governance (II)

Jadi sesungguhnya peraturan perundangan kita sudah memiliki karakteristik-karakteristik yang mendukung terciptanya good (corporate) governance seperti yang dipersyaratkan oleh UNDP, yaitu transparansi, akuntabilitas, responsiveness, dan partisipasi. Yang kelihatannya masih sangat kurang kita miliki adalah karakteristik equality, supremasi hukum, dan efektivitas.

Bacaan 2 Menit
Menuju Good Corporate Governance (II)
Hukumonline

Pertanyaannya adalah mengapa kita masih belum berhasil menterjemahkan semua karakteristik good corporate governance tersebut dalam kehidupan dunia usaha kita? Mengapa kita masih melihat perseroan-perseroan kita  sebagai entitas yang tidak sepenuhnya taat kepada supremasi hukum?

Secara internal dan eksternal, pengawasan dan kontrol terhadap direksi perseroan masih amat lemah. Baik pemegang saham maupun komisaris jarang menggunakan kewenangan mereka, atau sebaliknya para anggota direksi cukup cerdas menjinakkan dan memuaskan pemegang saham dan Komisaris sehingga kebanyakan yang terjadi adalah sikap menerima semua kebijakan dari direksi.

Celakanya, jika semua unsur direksi terdiri dari perwakilan pemegang saham mayoritas yang berkolaborasi satu sama lain maka perseroan akan bisa disetir oleh pemegang saham mayoritas tanpa transparansi dan akuntabilitas. Di sinilah pengalaman Jerman, Perancis dan Belanda menarik untuk dicermati. Di Jerman, misalnya, perwakilan karyawan atau buruh turut duduk dalam direksi maupun komisaris, sehingga pengawasan dan kontrol terhadap pemegang saham mayoritas yang menguasai direksi bisa dilakukan.

Pada gilirannya, direksi akan didorong untuk memperhatikan kepentingan bukan saja karyawan atau buruh, tetapi juga kepentingan publik. Di Perancis, kita juga menemukan praktik serupa di mana pemegang saham tak dapat secara semena-mena menjalankan perseroan tanpa mempertimbangkan kepentingan pemegang saham minoritas, karyawan dan publik.

Di sini dikenal apa yang disebut sebagai the duties of care and diligence yang mengabadikan prinsip fiduciary duties dari direksi kepada perseroan dan masyarakat. Bahkan dalam perusahaan publik, kita melihat bahwa direksi terdiri atas perwakilan direksi yang diangkat oleh negara, perwakilan direksi yang diangkat oleh karyawan, dan perwakilan direksi yang diangkat dari kalangan independen seperti masyarakat konsumen atau setempat. Jadi kepentingan pemegang saham tidak lagi segala-galanya karena kepentingan pemegang saham harus bergandengan dengan kepentingan karyawan dan publik.

Sementara di Belanda, kita juga mendapatkan praktik serupa dalam artian kepentingan publik telah masuk dalam pertimbangan penentuan direksi dan Komisaris. Dalam kaitan ini, menarik untuk melihat pengalaman Hong Kong yang memperlakukan tes bagi calon direksi di mana mereka harus lulus tes yang disebut character, experience, integrity and competence test. Mereka yang lulus dalam test tersebut bisa dianggap akan dapat melaksanakan fiduciary duties terhadap perseroan.

Di Indonesia, penentuan direksi dan komisaris sepenuhnya merupakan kewenangan pemegang saham. Dan tidak ada ketentuan hukum yang mewajibkan adanya perwakilan karyawan dalam kedua badan tersebut. Hanya saja dalam perseroan terbatas terbuka, kita sudah menemukan ketentuan bahwa pemegang saham minoritas (independen) mendapat tempat dalam jajaran direksi dan komisaris.

Tags: