Menyoal Cacat Bawaan BPJS Kesehatan
Kolom

Menyoal Cacat Bawaan BPJS Kesehatan

Ketidakjelasan yang berasal dari cacat bawaan BPJS ini harus segera dicarikan solusinya sebelum semuanya terlambat, demi mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat.

Bacaan 2 Menit

 

Namun demikian, BPJS juga memiliki sifat mirip BLU karena bersifat nirlaba dan tidak perlu menyetor dividen. Ketidakjelasan bentuk badan hukum tersebut menjadikan BPJS Kesehatan memiliki berbagai keistimewaan dibandingkan dengan lembaga negara, BUMN maupun BLU. Berbagai keistimewaan, terutama adanya sifat nirlaba, tidak perlu menyetor dividen, dan mudahnya mendapatkan suntikan dana, berpotensi menjadikan BPJS minim kreatifitas, setelah sebelumnya berbentuk BUMN.

 

Kedua, ketidakjelasan pengelolaan keuangan. UU BPJS mengatur bahwa pengelolaan BPJSK bersifat nirlaba. Sifat nirlaba ini hanya sesuai dengan badan hukum yang berupa lembaga negara dan BLU, dan tidak cocok untuk BPJS Kesehatan yang mengelola dana pihak ketiga yang sangat besar dan memiliki kewenangan untuk melakukan investasi.

 

Dengan sifat nirlaba, maka terdapat celah untuk mengelola keuangan secara tidak profesional, tanpa berorientasi pada profit. Hal ini berbahaya bila terjadi pada BPJS yang mengelola dana publik yang sangat besar, bahkan dari iuran premi saja mencapai Rp67 triliun untuk tahun 2016. Hal ini terbukti pada BUMN yang tanpa dinyatakan bersifat nirlaba pun, masih saja mengalami kerugian. Bagaimana pula bila dinyatakan bersifat nirlaba.

 

Ketidakjelasan pengelolaan keuangan juga menjadikan kebingungan dalam proses penyertaan modal maupun subsidi. Karena BPJSK tidak berbentuk BUMN/D ataupun BLU, maka penggunaan kedua istilah tersebut menjadi rancu. Hal ini karena PMN atau subsidi hanya tepat untuk berbentuk BUMN/D ataupun BLU.

 

Ketiga, ketidakjelasan mekanisme pertanggungjawaban. Berdasarkan UU BPJS, Direksi bertanggung jawab ke Dewan Pengawas. Selanjutnya, BPJS Kesehatan melaporkan pekerjaan ke Presiden dengan tembusan Dewan Jaminan Sosial Nasonal (DJSN). Namun demikian, tidak diatur mekanisme pertanggungjawaban oleh Presiden, DJSN, maupun Dewan Pengawas.

 

Dalam UU BPJS, hanya Direksi yang harus bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian finansial yang ditimbulkan atas kesalahan pengelolaan Dana Jaminan Sosial. Mekanisme pertanggungjawaban Dewan Pengawas dan Direksi juga sangat longgar karena UU BPJS memberi kewenangan kepada Dewan Pengawas dan Direksi untuk mengatur mekanisme kerjanya sendiri melalui Peraturan Dewan Pengawas dan Peraturan Direksi.

 

Mekanisme kerja demikian rawan konflik kepentingan. Terlebih, Pemerintah tidak dapat melakukan evaluasi secara langsung operasional BPJS, karena laporan BPJS disampaikan enam bulan sekali. Serta tidak terdapat mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) layaknya di BUMN.

Tags:

Berita Terkait